Senin, 20 Juni 2016

Tetangga Baru dan Diari Lusuh



"Ini sudah jam empat. Telat satu jam dari waktu biasa sampai di rumah. Dia pasti bosan karena menunggu terlalu lama. Atau jangan-jangan dia memang tak menungguku hari ini?"

Viska memandangi rumah di seberangnya dengan sendu selama bebarapa saat. Dia kemudian mendesah. Dengan perasaan kecewa bercampur sebal, gadis itu akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah. Mencoba berlapang dada menunggu esok hari untuk melihat wajahnya lagi.

Viska menggerutu dalam hati. Ini semua gara-gara Faren. Kalau laki-laki itu tidak memaksanya untuk menonton pertandingan basket yang dia ikuti di kampus tadi, Viska pasti tak akan pulang telat dan hal semacam ini tak akan terjadi. Begitu pikir Viska, menyalahkan teman sekampusnya itu.

Seorang pemuda tampan berkulit kuning langsat berambut kecoklatan baru saja pindah bersama keluarganya dan menjadi tetangga depan rumahnya dua minggu lalu. Namanya Adiguna, dan dia baru saja menyelesaikan gelar studi strata pertamanya di Australia. Sejak kepindahannya kemari dua minggu lalu, Adiguna sudah menarik perhatian Viska. Bukan karena ketampanannya yang tak usah diragukan lagi. Tapi karena sikapnya yang membuat Viska greget sendiri sampai dibuat penasaran.

Viska merasa bila akhir-akhir ini Adiguna diam-diam memperhatikannya. Tepatnya setelah tetangga baru itu berkunjung ke rumahnya sekeluarga di hari kedua kepindahan mereka. Disanalah pertemuan pertama Viska dan Adiguna berlangsung. Perasaan Viska bukan tanpa alasan, sejak saat itu, Guna -begitu nama panggilannya- selalu standbye di teras depan rumahnya saat Viska pulang kuliah. Tak ada kegiatan berarti yang dilakukannya. Terkadang Guna duduk disana sambil bermain gitar atau gadget-nya, tapi kebanyakan yang terlihat hanya duduk-duduk saja. Begitu melihat Viska pulang, Guna tampak curi-curi pandang padanya dari seberang sana. Anehnya setelah Viska masuk ke rumah, Guna juga masuk ke dalam rumahnya sendiri.

Sikapnya seolah sedang 'menunggu' Viska pulang, kan? Itulah yang terjadi setiap hari selama hampir sepuluh hari terakhir. Dan setelah 'menunggu' Viska di jam pulang kuliah, Guna tidak lagi ke luar rumah. Jadi saat pulang ke rumah adalah hal yang mendebarkan sekaligus  menjadi kesempatan bagi Viska yang juga suka ikut curi-curi pandang ke arah Guna di seberang sana. Tapi sayangnya kesempatan emas itu hari ini berlalu begitu saja tanpa Viska tahu apa Guna 'menunggunya' atau tidak.

Viska terhenyak dari pikirannya. Sebuah lampu pijar tiba-tiba saja muncul di atas kepalanya. Ia mendapat sebuah ide yang membuatnya kembali bersemangat. Sebelum melancarkan aksinya, Viska pergi ke dapur sebentar untuk minum. Namun, betapa terkejutnya Viska saat sampai di dapur. Bukan sosok ibunya yang biasa dia temui disana, melainkan sosok adiknya sendiri.

"Kesya, sedang apa kamu disini?" tanya Viska dengan mata membulat sambil menatap Kesya dengan ekspresi terkejut.

"Mama pergi ke supermarket tanpa menunggu Kesya pulang sekolah," jawab Kesya sedih. Bisa Viska lihat ada jejak-jejak air mata di pipi cubby adiknya itu. Kesya memang senang bila diajak berbelanja, jadi pantas saja bisa sesedih itu. Apalagi gadis kecil itu memang sangat dekat dengan ibu mereka.

"Loh kok bisa?"

"Sebelum pulang tadi, Kesya dapat tugas piket kelas dulu jadi telat pulang ke rumah. Kunci rumahpun dititipkan ke Kak Guna."

Guna? Viska kembali ingat idenya tadi. Tapi Kesya ada di rumah? Lalu bagaimana dengan misinya yang akan iseng berkunjung ke rumah tetangga barunya itu dengan alasan mencari Kesya yang mulai senang bermain bersama Andin, dan berharap bisa melihat Guna sebagai penebus keterlambatannya pulang tadi? Dia tak punya alasan lain sekarang. Mana mungkin dia datang kesana tanpa tujuan apapun, selain untuk bisa melihat  Guna walau sekali. Bagaimana kalau Pak Reksa -ayah Guna dan Andin- yang nanti membukakan pintu? Viska bisa mati kutu.

Viska menghembuskan nafas berat. Matanya menatap iba pada adiknya yang termenung di kursi meja makan. Nasib mereka berdua hari ini sama; ditinggalkan seseorang karena terlambat pulang ke rumah.

"Kakak, mau kemana?" tanya Kesya begitu melihat kakaknya bergegas keluar dari dapur dengan lesu.

"Kakak mau istirahat di kamar. Kamu tunggu Mama di rumah saja. Sebentar lagi pasti pulang," jawab Viska tanpa menoleh pada Kesya.

"Tunggu, Kak," cegah Kesya.

Viska yang sudah berdiri di ambang pintu dapur berbalik. "Ada apa, Sya?"

Kesya berdiri dari kursi untuk menghampiri kakaknya. "Ayo ikut!"

"Loh? Mau kemana?" tanya Viska bingung saat Kesya menggandeng tangannya. Menyeretnya keluar dari rumah. "Kita mau kemana, Sya?"

"Nanti Kakak tahu sendiri."

Viska memilih diam. Dia menuruti apa yang Kesya inginkan kali ini. Barangkali itu bisa menghibur perasaannya. Namun, tanda tanya besar segera muncul di pikirannya saat sadar bahwa Kesya membawanya ke kediaman Pak Reksa. Apa?! Ada apa ini?!

"Kesya. Kenapa kita kesini?" bisik Viska penuh keterkejutan sekaligus bingung. Bukannya menjawab, Kesya justru malah memecet bel rumah itu. Membuat Viska semakin panik. Apalagi setelah pintu rumah dibuka oleh seorang gadis kecil seumuran Kesya. Perasaan Viska mulai tak enak.

"Ayo masuk!" Andin mempersilahkan kakak beradik itu masuk ke rumahnya.
Kesya menarik tangan Viska lagi. Tapi, kali ini kakak perempuannya itu mencoba melawan. Viska sudah berhasil melepaskan tarikan tangan mungil Kesya dan hendak lari sebelum akhirnya Andin turun tangan untuk membantu Kesya menyeret Viska masuk. Untuk kedua kalinya Viska menyerah. Daripada membuat keributan dengan kedua bocah itu, lebih baik dia mengikuti kemauan mereka. Viska masuk ke rumah Pak Reksa dengan langkah sok berani tapi hati berdebar tak karuan.

'Semoga Guna tak ada di rumah.'

Katakanlah Viska saat ini sedang bersikap munafik. Dia mengatakan apa yang dipungkiri oleh hati kecilnya, yaitu hal sebaliknya. Dia hanya malu, was-was, cemas, dan juga takut kalau sampai Guna memergokinya berada disana hingga menutupi keinginan gadis itu yang sebenarnya. Begitu melihat sosok anak sulung pemilik rumah itu sedang asyik membaca sebuah buku di ruang tengah, nyali Viska semakin menciut. Ingin rasanya lari dari tempat itu sekarang juga tapi hatinya malah menolak. Hati kecil memang tak bisa dibohongi, kan?

"Kak Guna." Andin memanggil kakaknya itu tanpa melepaskan tangan Viska. Orang yang dipanggil itupun menoleh. "Ini Kak Viska, kakak Kesya."

"Orang yang punya buku diari itu," sambung Kesya.

Diari?

Viska hendak menanyakan hal itu pada Kesya. Tapi, adiknya itu malah buru-buru mengajak Andin main di luar. Jadilah sekarang hanya ada Viska dan Guna berdua di ruangan itu. Viska berdiri dengan canggung karena Guna memandanginya lekat dari ujung kaki ke ujung kepala, sama seperti saat pertemuan pertama mereka. Viska mendengus dalam hati. Apa itu kebiasaan buruknya kalau bertemu dengan orang baru?

"Mmm...A-Ada apa, ya? A-Apa kamu mencariku?" Meskipun gugup sampai tergagap, membuka pembicaraan adalah hal terbaik yang dilakukan daripada mereka hanya saling diam dan membuat suasana menjadi canggung. Apalagi ini memasuki menit ketiga Guna memandanginya.

"Ini punya kamu?" tanya Guna to the point sambil mengacungkan sebuah buku yang tadi sedang dibacanya. Buku tebal yang agak lusuh berwarna merah.

Butuh waktu beberapa detik bagi Viska untuk menjawab 'ya' atau 'bukan'. Dari jarak sekitar dua meter, dia menyipitkan mata dan mempertajam penglihatannya. Setelah sadar kalau barang yang ada di tangan Guna memang benar-benar adalah miliknya, barulah Viska panik.

"Itu buku diariku! Kenapa bisa ada di kamu?!" tanya Viska histeris sambil menunjuk buku yang masih diacungkan Guna.

"Oh~" Guna berseru sembari memasang sebuah smirk di sudut kiri bibirnya. "Tanya sendiri pada Kesya kenapa dia kasih buku ini padaku."

"Kesya?"

Ah~ Jadi ini semua ulah adik kecilnya itu? Benar-benar usil! Anak kecil kelas 3 SD semacam Kesya sudah berhasil membuat Viska kelewat malu hari ini di depan Guna. Menyebalkan sekali! Apapula maksudnya memberikan diari itu pada tetangga barunya? Apa Kesya tidak tahu kalau isi itu bersifat rahasia dan penting bagi dirinya? Hah~ Rasanya Viska ingin menggelitiki perut adiknya itu sampai dia pipis di celana.

Tunggu! Viska tiba-tiba ingat sesuatu. Jangan-jangan Guna...

"Apa kamu sudah baca semua tulisan di diari itu?" Sekarang Viska dilanda kecemasan luar biasa. Tidak apa-apa kalau diari itu ada di tangan Guna selama dia tidak membaca apapun isinya. Tapi saat ingat kalau diari itu tak dikunci karena kuncinya sudah lama rusak, seketika pula ada keyakinan mustahil kalau Guna tak membacanya.

Guna lagi-lagi tersenyum. Kali ini pemuda yang usianya terpaut beberapa tahun lebih tua darinya itu tersenyum jahil. "Awalnya tak tertarik karena ini adalah privasi orang. Tapi setelah Kesya bilang kalau nama aku ada disini, maaf... Aku akhirnya kebablasan baca semuanya."

APA?!!

Rasanya Viska ingin pingsan saja detik itu juga. Tidak-tidak. Dia ingin hilang ingatan atau lebih bagus kalau dia ditelan bumi saja. Dia tak bisa berpikir apapun saat ini. Pikirannya mendadak kosong. Bahkan untuk berbicara dengan Guna-pun, Viska ingin menutupi wajahnya dengan kantung kresek saja. Ketika ingat kalau akhir-akhir ini Viska sering menyebut Guna dalam tulisan diarinya apalagi keinginannya untuk berkenalan secara langsung, seketika itu pula kakinya melemas. Ya Tuhan. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Apa ini awal atau akhir dari segalanya?

"A-Aku..." Viska masih dilanda syok sebenarnya. Tapi, dia harus cepat-cepat keluar dari rumah ini sebelum hal yang lebih memalukan terjadi. "B-bisa k-kamu k-kembalikan bukuku?"

"Sayangnya tidak sebelum mewujudkan keinginan kamu."

Apa lagi ini?!

Guna menyembunyikan diari itu di balik punggungnya. Dia lalu berjalan mendekat ke arah Viska. Tingkahnya itu justru semakin membuat Viska mematung di tempat dengan perasaan campur aduk. Viska sudah memerintahkan kakinya untuk lari sebelum Guna betul-betul ada tepat di hadapannya. Tapi, otaknya sama sekali tidak merespon. Jadilah dia tetap berada di dalam rumah Pak Reksa sekarang dan Guna sudah ada setengah meter di depannya.

"Kenalkan. Aku Adiguna. Kamu bisa memanggilku dengan Adi atau Guna." Guna mulai memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan kanannya ke hadapan Viska.

Viska memandang kosong pada uluran tangan Guna. Dia justru salah fokus pada tangan pemuda itu yang terlihat lembut.

"Kenapa? Bukannya kamu mau berkenalan denganku?"

Pertanyaan Guna berhasil membuat lamunan Viska buyar. Saat mendongak, detik itupun mata mereka berdua bertemu.

Deg deg deg~

Ya. Seperti itulah kiranya suara jantung Viska yang berdegup kencang saat ini. Dan harus Viska tahu kalau sebenarnya dia kelihatan bodoh sekarang.

'Sadar, Viska. Sadarlah. Dia hanya manusia biasa. Bukan Pangeran di dunia dongeng. Tapi dia memang tampan.'
Viska mencoba menyadarkan dirinya sendiri dalam hati. Dia berdehem kemudian berusaha bersikap biasa saja. "I-itu se-sebenarnya...Yang mau berkenalan denganmu bukan a-aku."

'Jawaban bodoh,' rutuknya dalam hati.
"Oh, ayolah. Kamu lupa kalau aku sudah baca semuanya?"

"T-tapi..."

"Tangan aku sudah mulai pegal. Ayo cepat balas! Anggap saja ini karena aku telat memperkenalkan diri padamu, bukan karena apa yang tertulis dalam diari itu. Jadi ayo kita berkenalan secara resmi!"

Viska masih diam dan itu membuat Guna semakin greget. Maka tanpa ragu Guna menarik pelan tangan kanan Viska untuk membalas jabatan tangannya. Viska terkejut. Sesuatu yang halus melingkupi telapak tangan kanannya. Mengalirkan aliran listrik yang entah darimana datangnya yang perlahan menyengat ke seluruh tubuh sampai ke jantungnya. Dan ketika sadar kalau dikarenakan kulit tangannya bersentuhan langsung dengan milik Guna, Viska ingin sekali merasakan yang namanya pingsan.

"A-Aku...Viska. Panggil aku Ca atau Caca."

'Terima kasih diari. Terima kasih Guna. Terima kasih Kesya dan Andin.'
*****

Sabtu, 18 Juni 2016

A Liar, A Fool, and A Ring


A LIAR, A FOOL, AND A RING

Cast : Super Junior Sungmin
           Shin Jae Kyung

Author's speech :
Sungmin, ya? Dengan semua yang sudah terjadi, saya ga bisa mengganti nama cast ff dari abal-abal ini. Bagi saya, nama Sungmin sudah melekat kuat sebagai bagian dari cerita. Well~ lupakan sejenak kenyataan karena ini hanya fiksi. ^^
***

"Kenapa kemarin kau tak datang? Kau bahkan tak menjawab telepon atau membalas pesan singkatku. Kau tahu? Hampir seharian aku menunggumu disini kemarin."

Itulah segerombolan ucapan yang dilontarkan Sungmin ketika aku baru saja tiba di sebuah taman tempat kami berjanji bertemu kemarin.

Sungmin memandang sebal ke arahku yang duduk di sisi kolam air mancur dan hanya memandangi air yang memenuhi kolam berbentuk lingkaran tersebut tanpa bergeming untuk merespon ucapannya barusan.

"Jae?" panggilnya. Laki-laki itu kemudian ikut duduk di sebelahku. "Gwaenchana? (Kau baik-baik saja?)"

"Jauhi aku!"

Sungmin tersenyum kecut. "Apa yang sedang kau bicarakan, eoh?"

"Bukan hal semacam ini yang kuharapkan," ucapku pelan tanpa berani menoleh ke arah Sungmin yang berada di sebelah kiriku.

"Pergi dan tak pernah bertemu lagi denganku seumur hidup? Itu, kan yang kau harapkan?"

"Jika kau tahu apa yang kuinginkan, kenapa kau masih mencariku?"

"Aku tak pernah mencarimu, karena aku tahu jika takdir akhirnya akan selalu mempertemukan kita."

"Ck~ Percuma saja. Kita bertemupun, aku sudah tak memiliki perasaan lebih padamu seperti dulu." Aku berkata dengan nada dingin, yang dibalas Sungmin sinis.

"Pembohong."

"Kau tahu aku tidak pernah main-main dengan perkataanku."

Secara tiba-tiba Sungmin memegangi pergelangan tangan kiriku yang membuatku terkejut. Tatapan tajamnya menghujam tepat ke dalam bola mataku.

"Lalu apa maksudnya dengan ini, Shin Jae Kyung? Jika benar kau sudah tak mencintaiku lagi, kenapa kau masih memakainya? Apa kau lupa? Ini adalah cincin pertunangan kita, bukan?"

Aku terperanjat atas ucapan Sungmin. Apalagi dia dengan sengaja memberi penekanan pada setiap kalimat yang dilontarkannya. Lidahku seketika kelu, tak tahu harus mengatakan apa.

Mataku menatap kosong pada jari tangan kiri yang diangkat Sungmin. Dia ingin aku melihat apa yang ada disana. Sebuah benda berbentuk lingkaran yang menghiasi jari manis tangan kiriku. Benda yang tak pernah kulepaskan sejak pertama kali tersemat disana dua tahun lalu.

Pandanganku beralih ke arah Sungmin. Matanya menatap lekat ke arahku. Ada luka disana, di balik mata foxy-nya. Akupun tak bisa menutupi fakta, jika diriku sendiripun merasakan luka yang sama. Dan aku yakin laki-laki itu tahu meski kututupi dengan sedemikian rupa.


Aku harus segera sadar. Tak boleh terlalu lama hanyut dalam situasi semacam ini atau pertahankan yang kubangun dengan susah payah akan hancur hanya karena menatap mata laki-laki bermarga Lee itu.

"Kau meragukan ucapanku?" tanyaku sinis, memecahkan keheningan diantara kami.

"Kau payah dalam hal membohongiku." Suara Sungmin terdengar bergetar.

"Kalau begitu akan kubuktikan persepsimu terhadapku tentang hal itu adalah salah, Ming."

Kuhempaskan tangan Sungmin yang masih bertahan memegangi pergelangan tangan kiriku. Tanpa banyak bicara bahkan dengan sikap dingin, kulepaskan cincin yang terbuat dari titanium tersebut. Dan sekali lagi tanpa berpikir apapun, aku melemparkan cincin itu. Aku yakin benda yang tak memiliki batas pada setiap sisinya itu telah berhasil menyentuh dasar kolam beberapa saat setelah aku melemparkannya.

Aku menoleh ke samping. Tampak Sungmin dengan ekspresi penuh ketidakpercayaan menatap lurus ke arah kolam yang tetap tenang, tak terganggu dengan suasana dingin bercampur ketegangan yang melingkupi kami berdua. Kali ini giliran laki-laki itu yang diam membeku. Sungmin tak mengucapkan sepatah katapun meski hanya untuk sekedar mencaci jika aku adalah wanita bodoh, jika aku akan menyesali apa yang kuperbuat sekarang. Tapi aku tak peduli, tak ingin peduli. Aku hanya harus pergi, dari hidupnya.

Aku bangkit berdiri, membelakangi kolam. Sementara Sungmin masih belum mau bergeming di atas kursi yang didudukinya. Kumasukan kedua tangan ke dalam saku sweater yang kukenakan, mencoba bersikap acuh selain karena udara malam memang berhembus sangat dingin. Sedingin suasana yang tak akan menjadi hangat diantara kami.

"Sekarang kau percaya? Kau sudah melihat dengan matamu sendiri tadi, bukan? Aku melepaskannya seperti aku yang akan melepaskanmu. Lebih baik kau pulang sekarang dan coba mulai menerima kenyataan jika aku tak menginginkan dirimu di sisiku lagi. Selamat malam."

Satu langkah, dua langkah. Perlahan aku mulai meninggalkan Sungmin. Terbesit di dalam hati berharap Sungmin akan menghentikan langkah kakiku yang terasa tak menginjak permukaan bumi ini. Dia memeluk tubuhku dari belakang seraya mengucapkan jika dia tak ingin aku pergi, dia tak bisa hidup tanpa diriku. Mustahil. Itu tak akan pernah terjadi karena perbuatanku sendiri.

"Dengan tersematnya cincin ini, maka mulai sekarang statusmu berubah dari yeojachingu (kekasih) menjadi calon istri tuan muda Lee Sungmin."

Sekilas kenangan tentang cincin itu datang memenuhi pikiran. Masih lekat dalam pikiran kenangan indah dua tahun lalu. Sungmin memberikan cincin itu di balkon rumahku, yang dia bilang sedang melamarku kala itu. Dia mengatakan dengan percaya dirinya yang justru berbuah cibiran dariku. Tapi jujur, itu adalah momen yang membahagiakan sekaligus mengharukan bagiku. Aku tidak pernah menyangka Sungmin akan seserius ini dalam hubungan kami.

"Maukah kau berjanji padaku tentang satu hal? Bahwa apapun yang terjadi, kita akan selalu saling mencintai satu sama lain?"

Itupun masih dengan jelas teringat. Semua kenangan bersamanya kini mulai berputar-putar dalam benakku. Membuatku sulit berpikir dan semakin berat untuk melangkahkan kaki. Tanpa sadar pandanganku mulai mengabur.

"Kenapa kau begitu memperhatikanku?"

"Karena kau adalah yeojachingu-ku."

"Kenapa kau mau menjadikanku sebagai yeojachingu-mu?"

"Karena aku mencintaimu."

"Kenapa kau bisa mencintaiku?"

"Aku tidak tahu. Tak ada alasan untuk itu, Jae."

Aku menutup mulut dan berhenti berjalan. Mencoba menahan isakan yang memaksa keluar dan hendak berubah menjadi teriakan penuh luka. Hatiku perih, sangat. Dadaku teramat sesak hingga aku sulit untuk bernapas. Apa sesakit ini? Apa harus rasanya semenyakitkan ini meninggalkan seseorang yang sebenarnya tak ingin untuk kita tinggalkan?

Ya. Sungmin benar. Aku memang berbohong. Semua yang kukatakan adalah dusta. Tapi aku tak bisa melakukan hal lain selain ini. Situasi dan keadaan yang memaksaku menggores luka di hati laki-laki yang sangat kucintai.

Udara malam yang dingin merasuk ke dalam rongga pernapasan. Sedikit bisa menetralkan rasa sesak yang serasa mencekik. Sebutir air mata perlahan meluncur dari pelupuk mata yang dengan cepat kuhapus sebelum ada yang melihat, meski aku yakin jika hanya ada aku saja di tempat ini tengah malam begini. Dan juga Sungmin, entah dia sudah pergi atau belum.

Aku mulai mengumpulkan tenaga kembali untuk segera pergi dari area taman ini. Namun baru satu kali melangkah, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara seperti sesuatu jatuh ke dalam air kolam. Egoku mencoba untuk tak peduli. Tapi sesuatu dalam diri menahan kaki untuk melangkah lebih jauh. Malah meminta berbalik untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi disana.

Air kolam yang disinari oleh lampu-lampu di sekelilingnya tampak tenang. Ditambah suasana sekitar yang hening membuatku sedikit merasa takut.

'Suara apa tadi?' tanyaku dalam hati. Apa yang terjatuh ke dalam sana? Dari suaranya terdengar cukup keras, seperti benda berbobot.

Tidak ada?

Ketika kembali pada tempat tadi, aku tak menemukan sosok Sungmin lagi. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling mencoba mencari laki-laki itu. Nihil, tak ada tanda-tanda keberadaannya. Apa dia sudah pergi dari sini dengan melewati jalan lain?

Aku hendak pergi ketika mataku tanpa sengaja menangkap benda yang menarik perhatian di atas kursi kayu yang kududuki bersama Sungmin tadi. Aku mendekat, meraih benda itu dengan hati-hati sekaligus berdebar.


Sebuah mantel? Aku kenal benar wangi parfum yang menempel pada mantel coklat ini. Mungkinkah ini...? Dan jika tak salah dia menggunakan mantel coklat saat kami bertemu beberapa saat lalu. Aku memang tak banyak memperhatikan pakaian apa yang dia kenakan, tapi aku bisa memastikan dia mengenakan mantel ini kemari.

Aku dikejutkan oleh sebuah nada dering ponsel yang terdengar dari dalam salah satu saku mantel. Kurogoh saku sebelah kanan dan mendapatkan apa yang kucari. Nama 'Kyunnie' tertera di layar ponsel sebagai pemanggil telepon. Tapi aku tak kunjung menjawabnya karena hatiku tiba-tiba terasa kacau. Hingga akhirnya orang itu mengakhiri panggilannya.

Keterkejutan belum hilang. Begitu panggilan diakhiri, wallpaper di ponsel muncul. Menampakan sebuah foto seorang wanita tengah berpose sambil melakukan v-sign dengan tangan kanannya dan berlatar pantai di belakangnya. Itu aku. Sungmin mengambil gambar itu saat kami berlibur ke pantai Gwanghwali hampir setahun yang lalu.

Kenapa benda-benda ini ada disini? Apa Sungmin meninggalkannya? Tidak mungkin. Udara terlalu dingin malam ini. Keanehan kembali muncul saat aku juga menemukan sepasang sepatu di bawah kaki kursi.

Perasaan tak enak menyelimuti hati mendapati barang-barang milik Sungmin ini. Dia pasti masih berada disini. Tapi untuk apa sampai meninggalkan barang-barangnya?

Aku teringat pada suara seperti sesuatu terjatuh ke dalam kolam yang tadi sempat terdengar. Kepalaku dengan cepat menoleh ke arah kolam. Mungkinkah Sungmin...?


Tiba-tiba beberapa gelembung kecil muncul di permukaan air kolam dan tertangkap indera penglihatanku. Aku mendekat ke sisi kolam. Gelembung itu masih muncul dan ketenangan air kolam terpecahkan karena tampak ada pergerakan-pergerakan kecil di dalam sana.

"Ming, apa itu kau?" teriakku gelisah. Tak ada jawaban.

"Ming, jika itu adalah kau, maka cepatlah naik ke atas," perintahku dengan volume meninggi. Masih tak ada jawaban. Apa di dalam sana memang bukan Sungmin? Tapi entah mengapa hati kecilku mengatakan jika itu adalah dia.

"Yak! Lee Sungmin! Jawab aku!"

Hening. Gelembung-gelembung tadi perlahan menghilang. Air pun kembali menjadi tenang. Namun justru kegelisahanku semakin menjadi.

Otakku mulai tak bisa bekerja dengan baik sekarang. Pikiranku benar-benar kalut dan aku tak tahu harus meminta bantuan siapa.

Yang kutahu, air kolam di taman ini permukaan dasarnya sengaja dibuat dalam dari kolam-kolam taman lain yang dibangun di daerah Gwangju. Kedalamnya bisa mencapai 5-6 meter. Jika saja tak sedalam itu mungkin aku akan menyelam untuk memastikan apa Sungmin ada disana atau tidak. Tak peduli aku akan berubah menjadi bongkahan es ketika kembali ke permukaan.

"Sungmin-ah, jangan membuatku takut," lirihku disertai isakan. 

Entah sejak kapan air mata turun dengan bebas hingga membasahi kedua pipi. Mendapati barang-barang kepemilikan laki-laki itu disini, membuatku semakin takut. Memaksaku untuk mempercayai Sungmin berada di dalam sana dan aku tak bisa berbuat apapun selain menangis. Tangisanku menjadi ketika pikiran menduga kenapa dia melakukan ini. Mungkinkah dia mencoba mengakhiri hidup setelah aku memutuskan hubungan kami seperti ini? Mengingat itu saja membuatku semakin dihantui rasa bersalah.

"Jawab aku!" Dan kini aku seperti orang gila. Berteriak-teriak sendiri, di sisi sebuah kolam sepi, di tengah malam.

"Jawab aku atau kupanggil polisi kemari sekarang juga, Lee Sungmin!"

Hening.

"Benar-benar lelucon bodoh. Ini sama sekali tak lucu. Kau kira dengan cara seperti ini aku akan kembali padamu? Justru aku akan semakin membencimu!"

Hening.

"Keluar bodoh!"

Tetap hening.

Tak ingin cepat berputus asa, aku merogoh ponsel di dalam saku sweater. Astaga, aku baru ingat. Aku meninggalkannya di rumah karena sedang mengisi baterainya yang habis. Kesialan rupanya tengah ingin bermain-main saat ini. Ponsel Sungmin yang satu-satunya menjadi harapan untuk memintai bantuan siapapun juga tiba-tiba mati karena kehabisan baterai.

Kakiku melemas dan aku sudah tak kuat lagi untuk berdiri. Aku duduk tak bertenaga sambil memeluk kedua lutut yang ditekuk. Kubenamkan kepalaku disana. Tangisanku kembali terdengar, bahkan lebih mengencang.

"Maafkan aku, Ming."

Aku mulai merutuki diri sendiri atas apa yang terjadi. Aku begitu menyesal sekarang atas perbuatanku pada Sungmin tadi. Sudah kukatakan aku tak pernah bermaksud untuk mengecewakannya. Aku juga tak ingin melakukan ini. Andai dunia berpihak padaku saat ini, yang kuinginkan hanyalah bersama laki-laki itu.

Samar-samar terdengar sebuah suara dari arah kolam. Aku menajamkan pendengaran dan suara itu semakin jelas terdengar. Suara orang terbatuk?

Dengan hati berdebar, perlahan kuangkat kepala. Tampak seseorang tengah berenang-renang dengan gerakan lemah dari tengah air kolam menuju sisi kolam terdekat. Beberapa kali orang itu berusaha keluar dari dinginnya air kolam secepatnya. Tapi karena keadaan tubuhnya tampak begitu lemah, dia selalu gagal. Tubuhnya menggigil dan tak hentinya terbatuk. Mungkin karena terlalu banyak air yang masuk ke dalam kerongkongannya.


"Ming-ah!"

Aku segera berlari ke arah Sungmin yang berada tak jauh dari tempatku sekarang. Kujulurkan kedua tangan guna membantunya naik, keluar dari air secepat yang kubisa sebelum tubuhnya yang basah total itu menjadi beku karena suhu air dan udara yang begitu sangat dingin.

Tubuh Sungmin tak bertenaga sama sekali ketika berhasil kuangkat kembali ke permukaan. Nafasnya masih terdengar memburu dan mata foxy-nya sesekali terpejam. Sungmin menghirup udara dengan begitu rakus sementara aku membantu menepuk-nepuk pundaknya agar batuknya segera berhenti dan air yang masuk ke dalam tubuhnya bisa keluar.

"Apa yang kau lakukan, Bodoh?" tanyaku dengan nada menghardik pada laki-laki yang tengah berbaring lemah dan meletakkan kepalanya di atas pahaku. Dia tersenyum lemah.

"Ini," ucap Sungmin pelan. Dia membuka telapak tangan kanan yang sedari tadi dikepalnya.

Aku menatap Sungmin tak percaya.


"Kau...?"

"Jangan menjatuhkannya sembarangan lagi! Apalagi jika aku tahu kau menghilangkannya, tamatlah riwayatmu. Dan aku tak bercanda."

"Apa kau sudah benar-benar bodoh, hah? Kau rela menyelam pada air yang bisa merubahmu menjadi bongkahan es? Apa yang kau pikirkan sebenarnya?" Aku tak kuasa menahan lebih lama lagi kekesalan atas kebodohan yang baru saja dilakukan laki-laki ini.

"Hey. Kau lupa, Shin Jae Kyung? Cincin ini kubeli di Amerika dan aku sendiri yang merancangnya. Kau juga tahu jika harganya sangat mahal, bukan? Dan aku juga sudah mengatakan bahwa cincin titanium ini adalah cincin pertunangan kita. Jadi kau harus menjaganya baik-baik."

"Lee Sungmin! Tidakkah kau berpikir bahwa tindakan bodoh tadi bisa membahayakan bahkan merenggut nyawamu sendiri, hah?"

"Aku tak bisa berpikir sehat jika itu menyangkut tentang dirimu, Jae. Meski harus kehilangan nyawa sekalipun aku tak peduli, asalkan jangan kau yang meninggalkanku."

Nafasku kembali tercekat. Kerongkonganku terasa sangat sakit karena sudah terlalu lama menahan air mata yang siap meluncur. Menambah sembab mata yang juga sudah membesar sedari tadi.

"Dari dalam air, aku bisa mendengar suaramu yang sangat mencemaskanku. Kau takut kehilanganku, bukan?"

"..."

"Kau bahkan menangis untukku."

"Aku tidak menangis."

"Tidak usah mengelak," ucap Sungmin, tersenyum sembari mengusap linangan air mata yang tak bisa lagi kutahan. Jemarinya begitu dingin, tapi senyumnya terasa hangat.

"Ambillah," pinta Sungmin halus.

Aku menggeleng. "Aku tidak bisa."

Sungmin meraih tangan kiriku. Menaruh cincin berbahan titanium itu di telapak tangan lalu mengenggamnya.

"Selamanya adalah milikmu."

"Kenapa kau keras kepala sekali, Ming? Sudah kukatakan jika...."

"Antarkan aku pulang."

"Apa?"

"Aku kedinginan. Aku bisa jatuh sakit jika terlalu lama lagi disini."

"Kau bisa pulang sendiri."

"Kau tega melihatku menyetir dalam keadaan seperti ini? Jika terjadi sesuatu padaku, kaulah orang pertama yang harus bertanggungjawab."

"Kau mengancamku?"

"Siapa?"

"Ck~ Berani sekali kau berbuat semacam ini padaku disaat kita sudah tak memiliki hubungan apapun sekarang."

"Kunci mobilnya ada di saku mantel sebelah kiri."

"Kau!"

"Palli (Cepat)! Hatchim~ Uhuk uhuk~"

Dengan perasaan kesal bercampur khawatir serta tentu saja penuh rasa bersalah, aku akhirnya menuntun Sungmin yang berjalan tertatih. Sebenarnya aku sudah akan mengomelinya lagi karena ia memarkirkan mobilnya di luar area taman hingga cukup menguras energi untuk sampai disana.

"Gomawo (Terima kasih)," ucap Sungmin saat aku mendudukkan tubuhnya yang dibalut pakaian basah di kursi sebelah kemudi. Aku tak bergeming dan lebih fokus memakaikan sabuk pengaman untuknya. Sungmin sudah membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu lagi. Namun dia mengurungkan niat karena aku segera berbalik, menghindari kontak mata dengannya dalam jarak dekat. Aku berjalan memutar dan masuk ke dalam mobil. Duduk di belakang kemudi dan melaju menuju daerah Gangnam.
*****

Senin, 13 Juni 2016

Kiss Me (Thailand) - My Feel My Opinion Part 2


Sawasdee ka \(^0^) (^0^)/

Yo yo yo~ Saya selaku istri Lee Donghae kembali memperbaharui blog kesayangan saya ini dengan postingan abal-abal. Saya pilih buat memposting yang ada di pikiran  lewat sebuah tulisan daripada dipendam terus entar jadi jerawat xD

Untuk kesekian kalinya dan ga pernah bosan, postingan saya kembali bakal berbau Itazura Na Kiss, sebuah manga populer karya Kada Taoru yang sudah dibuat drama oleh berbagai negara seperti Taiwan, Korea, Thailand, dan termasuk Jepang sendiri. Kalau dilihat dari salam pembuka paling atas tuh, mungkin udah bisa nebak versi negara mana yang bakal saya bahas.

Yups~ Itakiss versi Thailand, yaitu Kiss Me. Di postingan sebelumnya saya udah bahas sedikit tentang Lakorn yang dibintangi oleh aktor Mike Pirath Nitipaisalkul sebagai Irie Naoki dan aktris cantik Aom Sucharat Manaying sebagai Aihara Kotoko ini. Saya juga sempat sedikit membahas keunikan drama ini yang fresh dan berbeda. Masih banyak keunikan lakorn ini yang hanya ada di Kiss Me dan ga ada di remake Itakiss manapun yang pernah dibuat.

Sebelumnya saya mau minta maaf. Saya hanya berbagi spoiler nya aja. Saya tau saya banyak kekurangan. Bagi yang penasaran, silahkan langsung cusss~ nonton Kiss Me. Dijamin GA BAKAL NYESEL dan jangan salahkan saya kalau akhirnya terjebak dalam pesona Mike lalu nge-ship AoMike seperti saya :D :D

Panjang amat pembukaanya(?).
Langsung aja yuk (n__n)

The First Meeting


Keunikan pertama yang saya bahas adalah pertemuan pertama si dua pemeran utama. Diceritakan kalau Aihara Kotoko jatuh cinta pada Irie Naoki sejak pandangan pertama. Kotoko terpukau saat pertama kali ngeliat Naoki memberikan pidato di upacara penerimaan siswa baru di SMA. Sejak saat itulah Kotoko mulai menyukai (atau mencintai?) Naoki yang selain  jenius juga terkenal sebagai laki-laki super dingin.

Bagaimana dengan Kiss Me?


Secara garis besar sih sama. Taliw (Kotoko) jatuh cinta pada Tenten (Naoki) pada pandangan pertama juga. Bedanya...Terletak pada pertemuan mereka. Pertemuan 'pertama' Taliw dan Tenten adalah saat Tenten membantu Taliw menurunkan seekor kucing dari atas pohon di depan sekolah.


Sejak saat itulah Taliw menyukai Tenten apalagi saat Tenten bersedia merawat kucing itu. 'Ini cowok udah ganteng, baik hati pula.' Begitulah kiranya pikiran Taliw yang langsung dimabuk asmara sama Tenten :D


Love letter


Semua series yang pernah dibuat ga meninggalkan atau menghapus scene satu ini, karena dari surat cinta inilah semuanya dimulai ^^ Saya ambil contoh dari Itazura Na Kiss~Love In Tokyo. Thailand kasih sentuhan baru disini. Taliw memberikan surat-surat cinta yang ditulisnya ke Tenten di bawah pohon tempat mereka menolong kucing itu. Dan...yang bikin ga terduga yaitu Tenten MENERIMA surat cinta Taliw!!! (0.0) (0.0) Wow wow~


Saya dibuat cengo karena dari semua series baru di Kiss Me-lah dimana tokoh Naoki menerima surat cinta dari Kotoko. Eitsss~ Tapi dalam sekejap saya lebih cengo lagi. Dipikir surat-surat itu bakal dibaca, eehhh ternyata...Tenten malah majang surat-surat Taliw di mading sekolah yang dibaca sama semua orang (o.0) (0.o) Ada apa sama Tenten? Dia udah berbaik hati nolong Taliw waktu itu, dia juga nerima surat Taliw, tapi kok jadi begitu??? (-__-)"

Saya suka scene di atas. Dimana pandangan Tenten vs King yang seakan ngeluarin api. Ya iyalah. Tenten, belum tau dia Taliw dijaga sama siapa *smirk* Siapa yang udah ganggu Taliw apalagi nyakitin dia, maka bakal berurusan sama King. Dan sejak awal kedatangan Tenten, King emang udah secara terang-terangan bilang kalau dia ga menyukai pria tampan salah satunya Tenten. Apalagi pas King tau kalau Taliw udah pernah bicara sebelumnya sama Tenten dan doi suka sama murid pindahan itu.

The Childhood

Satu perbedaan dasar yang paling baru dari series Itakiss dan hanya ada di Kiss Me adalah kalau ternyata Tenten sama Taliw adalah temen masa kecil!! What the...(O.O)

Saya punya keyakinan kalau para Itakiss lovers juga bereaksi sama seperti saya; KAGET. Karena dari semua remake, yang diceritakan berteman lama dan dekat adalah ayah Naoki dan Kotoko.


Di Kiss Me, kita sempat diajak ibunya Tenten bernostalgia sebentar nih. Dari asal mula pertemuan antara ayah Taliw dan Tenten di suatu pesta, lalu gegara baju samaan akhirnya mereka berdua jadi temenan xD Bukan cuma tinggal bareng, tapi istri mereka hamil bahkan ngelahirin anak juga barengan wkwkwk~


Dengan pake efek-efek begitu, cerita pas hebohnya ibu Tenten sama Taliw mau lahiran malah jadi ngakak :D Sampe akhirnya pasangan Tan Han dan Nuan mendapat bayi perempuan yang  diberi nama Teerapat Taliw sementara pasangan Bomb dan Kaew mendapat anak laki-laki yang diberi nama Tatrapee Tenten. Taliw lahir pagi hari sementara Tenten pada malam di hari yang sama *nah kan unik lagi ^=^

Salah satu poin penting dari Itakiss adalah masa kecil seorang Naoki. Yups, masa kecil Naoki yang dipakein rok dan didandanin jadi anak perempuan gegara ibunya ngebet pengen punya anak perempuan. Fakta inilah yang pengen banget dimusnahkan Naoki dalam sejarah perjalanan hidupnya wkwkwk~

How about Kiss Me??


Sama~ Ada kok part Tenten pas masih bocah pake rok.
Perbedaannya~ Tenten pake rok gegara doi tumbuh bareng Taliw yang notabene emang lahir sebagai perempuan tulen. Diceritakan kalau Nuan, ibu Taliw meninggal dunia tak lama setelah Taliw lahir. Setelah itu Mama Kaew-lah yang mengurus dan merawat Taliw sebelum akhirnya keluarga Tenten pindah ke Jepang.

Mama Kaew sepertinya ga terlalu ngebet pengen punya anak perempuan. Tapi gegara liat Taliw lucu dipakein rok, yah tanpa sengaja Tenten jadi korban :v Pokonya Tenten sama Taliw itu udah kaya anak kembar!

Dari masa lalu aja, serangkaian keunikan Kiss Me banyak ditemuin. Di awal sempet disinggung gimana cerita pertemuan Taliw dan Tenten untuk pertama kali. Saat itu, Tenten datang ke Haro International School buat mendaftar jadi siswa baru di semester yang akan datang. Doi sekeluarga kan baru pindah dari Jepang. Tenten juga nolak pas mau dimasukin ke kelas unggulan. Dia lebih pilih sekelas sama Taliw di kelas reguler. Mereka berdua bahkan duduk sebelahan yang bikin King kebakaran jenggot di bangku depan *peluk King xD

Di Kiss Me, ga ada kesenjangan kelas antara si pintar dan si kurang pintar. Ga ada penindasan, ga ada saingan antar kelas. Yang ada di Kiss Me adalah sikap 'premannya' YuYee, Paew, sama Arm yang selalu bikin ngakak :D

Oke saya menarik kesimpulan. Sebenernya Tenten menyukai Taliw sejak pertemuan pertama. Tenten bersikap manis, hangat, dan bicara banyak sebelum akhirnya do'i mengetahui suatu fakta antara dirinya dan Taliw. Apa itu??

Di awal semester baru semua siswa memperkenalkan diri mereka pada Tenten sebagai siswa baru. Tibalah giliran Taliw buat perkenalan. Disanalah Tenten baru sadar kalau gadis yang dia bantu waktu itu adalah Taliw, teman masa kecilnya. Sekilas ada bayangan anak laki-laki dan perempuan lagi main bareng dengan pake baju sama. Nah itulah Tenten dan Taliw. Karena satu kejadian, Taliw ga mau berteman bahkan ga mau lagi ngeliat Tenten. Tenten ngambek lalu....Ingatan itulah yang membuat Tenten yang awalnya bersikap welcome sama Taliw akhirnya berubah dingin. Mungkin Tenten nyesel udah mutusin masuk kelas yang sama dengan Taliw.

Kenapa Tenten nerima surat cinta dari Taliw tapi ga dibaca dan justru menempelkannya di mading? Itu karena Tenten pengen balas dendam atas apa yang dilakukan Taliw di masa kecil mereka. Ucapan Taliw ternyata masih membekas di pikiran Tenten dan masih menyimpan rasa sakit. Padahal nih apa yang dilakukan Tenten sama Taliw setelah itu akibatnya fatal.

Kalau begitu, kenapa Taliw ga ingat tentang Tenten??

Berhubung udah lumayan panjang (atau panjang banget xD) saya cukup bahas sampe disini aja. Kalau ada kemauan saya bakal buat Kiss Me Part selanjutnya xD

Saya pamit. Oh ya. Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan.


Khop Kun Ka \(^0^)/