"Ini sudah jam empat. Telat satu jam dari waktu biasa sampai di rumah. Dia pasti bosan karena menunggu terlalu lama. Atau jangan-jangan dia memang tak menungguku hari ini?"
Viska memandangi rumah di seberangnya dengan sendu selama bebarapa saat. Dia kemudian mendesah. Dengan perasaan kecewa bercampur sebal, gadis itu akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah. Mencoba berlapang dada menunggu esok hari untuk melihat wajahnya lagi.
Viska menggerutu dalam hati. Ini semua gara-gara Faren. Kalau laki-laki itu tidak memaksanya untuk menonton pertandingan basket yang dia ikuti di kampus tadi, Viska pasti tak akan pulang telat dan hal semacam ini tak akan terjadi. Begitu pikir Viska, menyalahkan teman sekampusnya itu.
Seorang pemuda tampan berkulit kuning langsat berambut kecoklatan baru saja pindah bersama keluarganya dan menjadi tetangga depan rumahnya dua minggu lalu. Namanya Adiguna, dan dia baru saja menyelesaikan gelar studi strata pertamanya di Australia. Sejak kepindahannya kemari dua minggu lalu, Adiguna sudah menarik perhatian Viska. Bukan karena ketampanannya yang tak usah diragukan lagi. Tapi karena sikapnya yang membuat Viska greget sendiri sampai dibuat penasaran.
Viska merasa bila akhir-akhir ini Adiguna diam-diam memperhatikannya. Tepatnya setelah tetangga baru itu berkunjung ke rumahnya sekeluarga di hari kedua kepindahan mereka. Disanalah pertemuan pertama Viska dan Adiguna berlangsung. Perasaan Viska bukan tanpa alasan, sejak saat itu, Guna -begitu nama panggilannya- selalu standbye di teras depan rumahnya saat Viska pulang kuliah. Tak ada kegiatan berarti yang dilakukannya. Terkadang Guna duduk disana sambil bermain gitar atau gadget-nya, tapi kebanyakan yang terlihat hanya duduk-duduk saja. Begitu melihat Viska pulang, Guna tampak curi-curi pandang padanya dari seberang sana. Anehnya setelah Viska masuk ke rumah, Guna juga masuk ke dalam rumahnya sendiri.
Sikapnya seolah sedang 'menunggu' Viska pulang, kan? Itulah yang terjadi setiap hari selama hampir sepuluh hari terakhir. Dan setelah 'menunggu' Viska di jam pulang kuliah, Guna tidak lagi ke luar rumah. Jadi saat pulang ke rumah adalah hal yang mendebarkan sekaligus menjadi kesempatan bagi Viska yang juga suka ikut curi-curi pandang ke arah Guna di seberang sana. Tapi sayangnya kesempatan emas itu hari ini berlalu begitu saja tanpa Viska tahu apa Guna 'menunggunya' atau tidak.
Viska terhenyak dari pikirannya. Sebuah lampu pijar tiba-tiba saja muncul di atas kepalanya. Ia mendapat sebuah ide yang membuatnya kembali bersemangat. Sebelum melancarkan aksinya, Viska pergi ke dapur sebentar untuk minum. Namun, betapa terkejutnya Viska saat sampai di dapur. Bukan sosok ibunya yang biasa dia temui disana, melainkan sosok adiknya sendiri.
"Kesya, sedang apa kamu disini?" tanya Viska dengan mata membulat sambil menatap Kesya dengan ekspresi terkejut.
"Mama pergi ke supermarket tanpa menunggu Kesya pulang sekolah," jawab Kesya sedih. Bisa Viska lihat ada jejak-jejak air mata di pipi cubby adiknya itu. Kesya memang senang bila diajak berbelanja, jadi pantas saja bisa sesedih itu. Apalagi gadis kecil itu memang sangat dekat dengan ibu mereka.
"Loh kok bisa?"
"Sebelum pulang tadi, Kesya dapat tugas piket kelas dulu jadi telat pulang ke rumah. Kunci rumahpun dititipkan ke Kak Guna."
Guna? Viska kembali ingat idenya tadi. Tapi Kesya ada di rumah? Lalu bagaimana dengan misinya yang akan iseng berkunjung ke rumah tetangga barunya itu dengan alasan mencari Kesya yang mulai senang bermain bersama Andin, dan berharap bisa melihat Guna sebagai penebus keterlambatannya pulang tadi? Dia tak punya alasan lain sekarang. Mana mungkin dia datang kesana tanpa tujuan apapun, selain untuk bisa melihat Guna walau sekali. Bagaimana kalau Pak Reksa -ayah Guna dan Andin- yang nanti membukakan pintu? Viska bisa mati kutu.
Viska menghembuskan nafas berat. Matanya menatap iba pada adiknya yang termenung di kursi meja makan. Nasib mereka berdua hari ini sama; ditinggalkan seseorang karena terlambat pulang ke rumah.
"Kakak, mau kemana?" tanya Kesya begitu melihat kakaknya bergegas keluar dari dapur dengan lesu.
"Kakak mau istirahat di kamar. Kamu tunggu Mama di rumah saja. Sebentar lagi pasti pulang," jawab Viska tanpa menoleh pada Kesya.
"Tunggu, Kak," cegah Kesya.
Viska yang sudah berdiri di ambang pintu dapur berbalik. "Ada apa, Sya?"
Kesya berdiri dari kursi untuk menghampiri kakaknya. "Ayo ikut!"
"Loh? Mau kemana?" tanya Viska bingung saat Kesya menggandeng tangannya. Menyeretnya keluar dari rumah. "Kita mau kemana, Sya?"
"Nanti Kakak tahu sendiri."
Viska memilih diam. Dia menuruti apa yang Kesya inginkan kali ini. Barangkali itu bisa menghibur perasaannya. Namun, tanda tanya besar segera muncul di pikirannya saat sadar bahwa Kesya membawanya ke kediaman Pak Reksa. Apa?! Ada apa ini?!
"Kesya. Kenapa kita kesini?" bisik Viska penuh keterkejutan sekaligus bingung. Bukannya menjawab, Kesya justru malah memecet bel rumah itu. Membuat Viska semakin panik. Apalagi setelah pintu rumah dibuka oleh seorang gadis kecil seumuran Kesya. Perasaan Viska mulai tak enak.
"Ayo masuk!" Andin mempersilahkan kakak beradik itu masuk ke rumahnya.
Kesya menarik tangan Viska lagi. Tapi, kali ini kakak perempuannya itu mencoba melawan. Viska sudah berhasil melepaskan tarikan tangan mungil Kesya dan hendak lari sebelum akhirnya Andin turun tangan untuk membantu Kesya menyeret Viska masuk. Untuk kedua kalinya Viska menyerah. Daripada membuat keributan dengan kedua bocah itu, lebih baik dia mengikuti kemauan mereka. Viska masuk ke rumah Pak Reksa dengan langkah sok berani tapi hati berdebar tak karuan.
'Semoga Guna tak ada di rumah.'
Katakanlah Viska saat ini sedang bersikap munafik. Dia mengatakan apa yang dipungkiri oleh hati kecilnya, yaitu hal sebaliknya. Dia hanya malu, was-was, cemas, dan juga takut kalau sampai Guna memergokinya berada disana hingga menutupi keinginan gadis itu yang sebenarnya. Begitu melihat sosok anak sulung pemilik rumah itu sedang asyik membaca sebuah buku di ruang tengah, nyali Viska semakin menciut. Ingin rasanya lari dari tempat itu sekarang juga tapi hatinya malah menolak. Hati kecil memang tak bisa dibohongi, kan?
"Kak Guna." Andin memanggil kakaknya itu tanpa melepaskan tangan Viska. Orang yang dipanggil itupun menoleh. "Ini Kak Viska, kakak Kesya."
"Orang yang punya buku diari itu," sambung Kesya.
Diari?
Viska hendak menanyakan hal itu pada Kesya. Tapi, adiknya itu malah buru-buru mengajak Andin main di luar. Jadilah sekarang hanya ada Viska dan Guna berdua di ruangan itu. Viska berdiri dengan canggung karena Guna memandanginya lekat dari ujung kaki ke ujung kepala, sama seperti saat pertemuan pertama mereka. Viska mendengus dalam hati. Apa itu kebiasaan buruknya kalau bertemu dengan orang baru?
"Mmm...A-Ada apa, ya? A-Apa kamu mencariku?" Meskipun gugup sampai tergagap, membuka pembicaraan adalah hal terbaik yang dilakukan daripada mereka hanya saling diam dan membuat suasana menjadi canggung. Apalagi ini memasuki menit ketiga Guna memandanginya.
"Ini punya kamu?" tanya Guna to the point sambil mengacungkan sebuah buku yang tadi sedang dibacanya. Buku tebal yang agak lusuh berwarna merah.
Butuh waktu beberapa detik bagi Viska untuk menjawab 'ya' atau 'bukan'. Dari jarak sekitar dua meter, dia menyipitkan mata dan mempertajam penglihatannya. Setelah sadar kalau barang yang ada di tangan Guna memang benar-benar adalah miliknya, barulah Viska panik.
"Itu buku diariku! Kenapa bisa ada di kamu?!" tanya Viska histeris sambil menunjuk buku yang masih diacungkan Guna.
"Oh~" Guna berseru sembari memasang sebuah smirk di sudut kiri bibirnya. "Tanya sendiri pada Kesya kenapa dia kasih buku ini padaku."
"Kesya?"
Ah~ Jadi ini semua ulah adik kecilnya itu? Benar-benar usil! Anak kecil kelas 3 SD semacam Kesya sudah berhasil membuat Viska kelewat malu hari ini di depan Guna. Menyebalkan sekali! Apapula maksudnya memberikan diari itu pada tetangga barunya? Apa Kesya tidak tahu kalau isi itu bersifat rahasia dan penting bagi dirinya? Hah~ Rasanya Viska ingin menggelitiki perut adiknya itu sampai dia pipis di celana.
Tunggu! Viska tiba-tiba ingat sesuatu. Jangan-jangan Guna...
"Apa kamu sudah baca semua tulisan di diari itu?" Sekarang Viska dilanda kecemasan luar biasa. Tidak apa-apa kalau diari itu ada di tangan Guna selama dia tidak membaca apapun isinya. Tapi saat ingat kalau diari itu tak dikunci karena kuncinya sudah lama rusak, seketika pula ada keyakinan mustahil kalau Guna tak membacanya.
Guna lagi-lagi tersenyum. Kali ini pemuda yang usianya terpaut beberapa tahun lebih tua darinya itu tersenyum jahil. "Awalnya tak tertarik karena ini adalah privasi orang. Tapi setelah Kesya bilang kalau nama aku ada disini, maaf... Aku akhirnya kebablasan baca semuanya."
APA?!!
Rasanya Viska ingin pingsan saja detik itu juga. Tidak-tidak. Dia ingin hilang ingatan atau lebih bagus kalau dia ditelan bumi saja. Dia tak bisa berpikir apapun saat ini. Pikirannya mendadak kosong. Bahkan untuk berbicara dengan Guna-pun, Viska ingin menutupi wajahnya dengan kantung kresek saja. Ketika ingat kalau akhir-akhir ini Viska sering menyebut Guna dalam tulisan diarinya apalagi keinginannya untuk berkenalan secara langsung, seketika itu pula kakinya melemas. Ya Tuhan. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Apa ini awal atau akhir dari segalanya?
"A-Aku..." Viska masih dilanda syok sebenarnya. Tapi, dia harus cepat-cepat keluar dari rumah ini sebelum hal yang lebih memalukan terjadi. "B-bisa k-kamu k-kembalikan bukuku?"
"Sayangnya tidak sebelum mewujudkan keinginan kamu."
Apa lagi ini?!
Guna menyembunyikan diari itu di balik punggungnya. Dia lalu berjalan mendekat ke arah Viska. Tingkahnya itu justru semakin membuat Viska mematung di tempat dengan perasaan campur aduk. Viska sudah memerintahkan kakinya untuk lari sebelum Guna betul-betul ada tepat di hadapannya. Tapi, otaknya sama sekali tidak merespon. Jadilah dia tetap berada di dalam rumah Pak Reksa sekarang dan Guna sudah ada setengah meter di depannya.
"Kenalkan. Aku Adiguna. Kamu bisa memanggilku dengan Adi atau Guna." Guna mulai memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan kanannya ke hadapan Viska.
Viska memandang kosong pada uluran tangan Guna. Dia justru salah fokus pada tangan pemuda itu yang terlihat lembut.
"Kenapa? Bukannya kamu mau berkenalan denganku?"
Pertanyaan Guna berhasil membuat lamunan Viska buyar. Saat mendongak, detik itupun mata mereka berdua bertemu.
Deg deg deg~
Ya. Seperti itulah kiranya suara jantung Viska yang berdegup kencang saat ini. Dan harus Viska tahu kalau sebenarnya dia kelihatan bodoh sekarang.
'Sadar, Viska. Sadarlah. Dia hanya manusia biasa. Bukan Pangeran di dunia dongeng. Tapi dia memang tampan.'
Viska mencoba menyadarkan dirinya sendiri dalam hati. Dia berdehem kemudian berusaha bersikap biasa saja. "I-itu se-sebenarnya...Yang mau berkenalan denganmu bukan a-aku."
'Jawaban bodoh,' rutuknya dalam hati.
"Oh, ayolah. Kamu lupa kalau aku sudah baca semuanya?"
"T-tapi..."
"Tangan aku sudah mulai pegal. Ayo cepat balas! Anggap saja ini karena aku telat memperkenalkan diri padamu, bukan karena apa yang tertulis dalam diari itu. Jadi ayo kita berkenalan secara resmi!"
Viska masih diam dan itu membuat Guna semakin greget. Maka tanpa ragu Guna menarik pelan tangan kanan Viska untuk membalas jabatan tangannya. Viska terkejut. Sesuatu yang halus melingkupi telapak tangan kanannya. Mengalirkan aliran listrik yang entah darimana datangnya yang perlahan menyengat ke seluruh tubuh sampai ke jantungnya. Dan ketika sadar kalau dikarenakan kulit tangannya bersentuhan langsung dengan milik Guna, Viska ingin sekali merasakan yang namanya pingsan.
"A-Aku...Viska. Panggil aku Ca atau Caca."
'Terima kasih diari. Terima kasih Guna. Terima kasih Kesya dan Andin.'
*****