Cast :
- Kim Jong Dae (a.k.a Chen EXO)
- Han Jae Na
- Other
Category : Romance, Oneshoot
Author : "First time for me writing a Jong Dae a.k.a Chen's fanfiction ^_^
Recommended song :
Vibe ft. Chen EXO - Lil' Something
'Kau dan aku, kita memiliki hal kecil
Seperti kau memberi padaku hatimu
Tapi itu tidak mungkin'
Han Jae Na meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku setelah mengemas kembali buku-buku miliknya ke dalam tas. Setelah beberapa saat, ia menghela nafas sejenak kemudian beranjak dari meja tersudut yang sudah sekitar satu jam terakhir didiaminya itu.
Jae Na berdiri tepat di ambang pintu perpustakaan. Matanya mengedar pada hijaunya halaman kampus yang berada di hadapannya sekarang. 'Tak perlu jauh-jauh untuk refreshing kecil setelah melewati hari yang membosankan ini. Cukup berdiri disini sedikit lebih lama saja rasanya sudah lebih baik,' batinnya.
Begitu puas, Jae Na hendak pergi dari sana. Namun entah angin semacam apa yang berhembus hingga sanggup mendorong gadis itu untuk melirik ke sebelah kiri dari tempatnya berdiri. Untuk beberapa detik, jantungnya seakan berhenti berdetak. Dalam hati Jae Na merutuki dirinya sendiri. Menyesal untuk tak cepat-cepat pergi dari tempat itu. Dan untuk beberapa detik pandangan mereka saling bertemu.
Jong Dae tanpa sadar memanggil nama itu begitu dilihatnya Jae Na bergegas pergi dengan langkah agak terburu. Jong Dae menghentikan sejenak niatnya untuk segera masuk ke dalam perpustakaan dan menghadang langkah Jae Na. Sementara Jae Na yang berniat kabur, juga terpaksa mengurungkan keinginannya untuk sekedar berbalik meladeni pria bermarga Kim itu.
"Lagi-lagi kau sembunyi di perpustakaan untuk menghindari pelajaran yang tak kau suka." Jong Dae memandang Jae Na dengan pandangan menggoda yang dibalas malas oleh Jae Na.
"Bukan urusanmu," desis Jae Na.
"Karena kau absen dalam pelajaran tadi, jadi aku akan memberitahumu sesuatu. Kita satu kelompok untuk tugas Dosen Kang mendatang."
"APA?!" Jae Na setengah berteriak.
Jong Dae mengangguk meyakinkan. "Tugasnya harus dikumpulkan minggu depan. Kurasa kita berdua bisa menyelesaikannya dengan baik dan mendapatkan nilai bagus. Mohon kerja samanya."
Jae Na melangkah mendekati Jong Dae dengan mata masih membulat sempurna. Bahkan lebih bulat dari sebelumnya. "Apa kau bilang? Kita berdua?"
"Iya. Kita berdua. Kau dan aku, tak ada yang lain. Tugasnya memang berpasangan. Dan karena kau tak ada, kau sebenarnya tak punya kelompok. Untunglah ada aku yang bersedia menjadi partner-mu. Bagaimana kau senang, kan?"
Jae Na memejamkan mata sembari mengepalkan kedua telapak tangannya. Kali ini ia menyesal berdiam diri di perpustakaan selama jam terakhir mata kuliah hari ini.
"Kalau begitu terima kasih," lirih Jae Na yang kemudian pergi dengan langkah gontai.
"Hubungi aku tentang rincian tugas dan kapan kita akan mengerjakannya."
"Apa kau akan datang besok?"
Untuk kedua kalinya, Jae Na kembali menghentikan langkah. Ia berpikir sejenak sebelum akhirnya berbalik.
"Ya, acara di aula kampus besok," ucap Jong Dae yang masih berdiri di depan pintu masuk perpustakaan.
Jong Dae tergelak. "Oh ayolah. Memangnya kau punya pekerjaan sebanyak apa? Atau kau sudah punya kekasih sekarang dan berjanji untuk berkencan dengannya besok?"
"Sudah kubilang itu bukan urusanmu."
"Justru karena bukan urusanku, aku jadi semakin penasaran."
"Jika kau ingin aku datang, maka lakukan sesuatu yang istimewa."
"Memangnya aku ini siapa bagimu sampai kau harus melakukan hal spesial untukku?" Jae Na tersenyum kecut. Tiba-tiba hatinya seperti diremas. "Aku pulang."
Jong Dae mematung sesaat. Tak berapa lama sebuah senyuman dalam berbagai arti terbit di bibirnya dengan manis. Ia tetap berdiri disana sembari memandangi punggung Jae Na sampai gadis berambut panjang itu hilang dari jangkauan matanya.
Jae Na mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Di sana sini begitu banyak orang. Mereka semua terutama para gadis yang berkumpul berkelompok-kelompok itu tampak bersemangat. Membicarakan apapun dengan senyum yang merekah dan diiringi dengan derai tawa. Hanya Jae Na yang seorang diri. Berdiri dengan kebingungan dan tampak kesepian.
Seseorang menepuk pundak kiri Jae Na dari belakang membuat gadis itu tersentak. Begitu menoleh ke arah samping ia segera disuguhi sebuah senyum merekah, cerah seperti matahari pagi ini.
"Mengagetkanku saja," dengusnya bercampur protes.
Yoo Jung tertawa kecil. "Kau saja yang tak ada kerjaan untuk melamun di pagi hari seperti ini."
"Siapa yang melamun? Aku hanya sedang berpikir apa keputusanku ini tepat atau tidak."
"Dasar pemalas. Kau seakan tidak punya selera untuk hal penting semacam ini. Dengar, Jae-Na-ya. Kau itu perlu banyak hiburan bukan hanya diam di perpustakaan dan tidur di sana saja."
"Sudahlah. Lama-lama kau seperti Jong Dae."
Yoo Jung kembali menepuk pundak Jae Na. Mengingat sesuatu yang sejenak dilupakannya. "Ah benar. Kudengar Jong Dae akan ikut berpartisipasi dalam acara hari ini."
"Jadi kau datang untuknya, ya?"
Jae Na menatap tajam Yoo Jung yang justru terlihat sumringah. "Gosip selalu muncul dari orang-orang yang mudah menyimpulkan sesuatu tanpa menelurusi kebenarannya lebih dulu. Dan kau salah satunya."
"Selera humormu benar-benar payah," ucap Yoo Jung sebal. Bibirnya yang selalu tersenyum sekarang dibuat cemberut untuk pertama kalinya hari ini. Tapi untunglah ia bukan tipe pendendam apalagi pada Jae Na. "Aku tidak mengerti bagaimana Jong Dae bisa..."
Yoo Jung dengan cepat menutup bibirnya rapat-rapat. 'Hampir saja,' dengusnya dalam hati. Ketika kembali menoleh, Yoo Jung mendapati Jae Na tengah menatapnya dengan kening berkerut. "Ayo kita masuk."
"Darimana kau yakin aku datang kemari untuk masuk kesana?" tanya Jae Na tanpa memperdulikan ucapan Yoo Jung sebelumnya.
"Aku cukup yakin tentang hal itu. Ayolah jangan buang-buang waktu lagi! Kita harus dapat kursi paling depan."
Jae Na hanya mendesah ketika Yoo Jung menyeretnya ke dalam aula.
Apa ini aula kampus? Jae Na merasa asing dengan tempat yang baru beberapa detik dipijaknya. Bangunan luas yang berada di belakang gedung fakultasnya kini disulap dengan dekorasi indah serta agak berbau romantis. Sebuah panggung berukuran lumayan besar berada di hadapan kursi-kursi penonton yang juga memenuhi lantai dua aula. Beberapa macam alat musik juga tampak sudah siap di atas panggung.
Jae Na harus mengakui kemampuan Yoo Jung dalam hal memilih tempat strategis untuk acara semacam ini. Sahabat terbaiknya itu memang akrab dengan kegiatan menonton konser musik yang sudah lama menjadi hobinya. Dan sekarang mereka berdua sudah duduk nyaman di kursi penonton baris ketiga. Jae Na berniat untuk menikmati acara rutin kampus selama enam bulan sekali ini dengan baik.
Tak berapa lama ponselnya terasa bergetar. Jae Na merogoh ke dalam tas yang dibawanya. Sebuah pesan singkat masuk.
From : Jong Dae
Apa kau datang? Balas pesanku jika iya!
To : Jong Dae
Ya.
From : Jong Dae
Dimana tempat dudukmu? Cepat beritahu aku secara spesifik!
'Laki-laki ini,' geram Jae Na dalam hati sebelum membalas pesan balasan.
Setelah kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas, pandangan Jae Na menatap lurus ke arah stage yang berada beberapa meter di depannya. Pikirannya menerawang dengan sosok seorang Kim Jong Dae yang berada dalam benaknya. Diam-diam dalam hati Jae Na berharap Jong Dae akan mendengarkan apa yang dikatakannya kemarin.
Lampu stage kembali dimatikan begitu penampilan dari kelompok band fakultas lain selesai. Suasana yang sempat memanas sedikit demi sedikit menenang. Sejauh ini sejak satu jam dimulai acara hiburan sekaligus pertunjukan bakat dari para mahasiswa, semuanya tampak sangat menikmati termasuk Jae Na dan Yoo Jung. Kini semua orang menunggu dengan perasaan tak sabar mahasiswa mana lagi dan apa yang akan ia tunjukan untuk mengundang decak kagum.
Aula kembali dibuat riuh ketika tiba-tiba petikan senar gitar dari balik tirai panggung terdengar bahkan sampai ke sudut ruangan. Semuanya bersorak tanpa terkecuali dan semakin bertambah keras saat sedikit demi sedikit tirai panggung mulai terangkat diiringi lantunan suara merdu dari baliknya.
Na yojeum sseomta sseomta sseomta
Ne mameul al deut mal deut waenji aemaehan
Neowa na sseomta sseomta sseomta
Ne mameul jul deut mal deut
Urin sseomta sseomta sseomta
(Aku punya hal kecil hari ini
Seperti aku tahu hatimu tapi sebenarnya tidak, membingungkan
Kau dan aku, kita memiliki hal kecil
Seperti kau memberi padaku hatimu tapi itu tidak mungkin
Kita memiliki hal kecil)
Di saat orang-orang berteriak silih berganti menyebut nama satu orang itu, hanya Han Jae Na seorang yang justru terdiam. Ia membeku di kursi tempatnya duduk. Apalagi ketika seluruh tirai telah terbuka menampakkan seorang laki-laki yang tengah duduk di tengah panggung dengan penghayatan sepenuh hati pada lagu yang dibawakannya.
Nega meonjeo naege malhae
Anim naega meonjeo malhae
Naneun namjadapge wonhae
Geurae saranghanda malhae
(Kau katakan padaku lebih dulu
Atau haruskah aku memberitahumu pertama kali?
Aku ingin kau menjadi seorang pria
Jadi, katakan kau mencintaiku)
Hanya suara itu, suara emas nan merdu itu yang memenuhi indera pendengaran serta hati Han Jae Na. Ia tak mendengar suara apapun selain itu.
Mildang mildang haji ma haji ma Naneun saranghagil wonhae
Neoneun sarangbatgil wonhae
(Jangan bermain-main denganku
Aku ingin mencintai
Kau ingin menerima cinta)
Sadar atau tidak, senyum tipis begitu saja menghiasi wajah Jae Na.
Aemaehae neowa naui saiga
Aemaehae uri durui saiga
Ajik arikkarihae ajik arikkarihae
Uri arikkarihae arikkarihae
(Ini membingungkan, kau dan aku
Ini membingungkan, hubungan kita
Masih ragu, masih ragu
Kita ragu, kita ragu)
Tidak ada seorangpun yang tak terhanyut dalam nyanyian Jong Dae. Suara laki-laki itu...istimewa. Berkarakter, kuat, khas, melengking, dan jelas. Jong Dae sudah seharusnya bersyukur atas pemberian Tuhan untuk suaranya yang luar biasa itu. Salah satunya dengan memperdengarkan dan menghibur banyak orang seperti hari ini.
Sementara yang terjadi pada Jae Na, selain mendengar, tak sedikitpun pandangannya lepas dari sosok laki-laki itu. Bahkan jika ada sesuatu atau seseorang yang lebih indah lalu mendekat padanya, Jae Na tetap tak akan mengalihkan perhatiannya dari Jong Dae. Dengan sweater berwarna merah cerah dipadu-padankan bersama celana pendek selutut serta kedua mata dibingkai oleh kacamata bening, Jong Dae tampak begitu awesome di mata Jae Na.
Lagu itu sudah sekitar satu menit ketika menginjak bagian chorus lagi. Namun begitu bagian itu selesai dan yang terdengar hanya akustik gitar, Jong Dae beranjak dari kursi di tengah stage. Ia mulai melangkah perlahan, lalu semuanya jelas. Tujuannya adalah turun dari stage. Tentu saja hal yang dilakukannya membuat riuh gaduh kembali memenuhi aula.
Jae Na tidak tahu pasti apa yang terjadi setelah itu. Pesona yang Jong Dae bawakan saat ini benar-benar sudah membuatnya pikirannya tersesat. Raganya berada disana bersama para penonton lain. Tapi tidak dengan jiwanya yang seakan tengah terbang melayang diiringi suara Jong Dae dan pesona yang dibawa laki-laki itu. Yang jelas suara Jong Dae yang lantang terasa beberapa kali lipat lebih dekat dari sebelumnya. Seakan laki-laki itu tengah bernyanyi tepat di telinga Jae Na.
Sorakan yang kembali menggila berhasil menarik jiwa Jae Na yang tengah menari-nari di udara. Saat sadar, hal pertama yang dilihatnya adalah sepasang kaki putih nan mulus tanpa tertutupi kain sudah berada di depannya. Jae Na mengerutkan kening? Sudah jelas pertanyaan yang muncul dalam hatinya adalah tentang pemilik kaki indah itu. Maka untuk memecahkan pertanyaan tersebut, Jae Na mendongak.
Mildang mildang haji ma haji ma Naneun saranghagil wonhae
Neoneun sarangbatgil wonhae
(Jangan bermain-main denganku
Aku ingin mencintai
Kau ingin menerima cinta)
Jae Na terkejut bukan main. Namun keterkejutannya belum usai ketika Jong Dae yang berdiri tepat di depannya tiba-tiba mengulurkan tangan kanannya. Jae Na menatap tangan itu kosong lalu bergantian menatap Jong Dae tak mengerti. Karena terlalu lama, Jong Dae menarik pergelangan tangan Jae Na dengan gemas. Menggiring gadis itu bersamanya ke atas panggung.
Para mahasiswa yang menjadi saksi lebih menggila dari sebelumnya. Dari semua pertunjukan selama satu jam terakhir baru Jong Dae-lah yang mendapat sorak-sorai paling lama dan paling keras, seperti kumpulan fans yang tengah menyaksikan konser idola favorit mereka. Mungkin juga akan menjadi perform terfenomenal untuk kali ini, terutama ketika Jong Dae mempersembahkan sebuket bunga pada Jae Na.
Mereka semua terkejut apalagi Jae Na. Gadis itu bukan hanya kehabisan kata-kata, namun juga seakan kehabisan nafas. Dibawa ke panggung, diberi sebuket bunga mawar merah, berdiri menemani Jong Dae bernyanyi di panggung adalah hal yang sama sekali tak pernah terbayangkan di benak Jae Na. Bahkan untuk memikirkannya sedikitpun Jae Na merasa itu tak mungkin. Jae Na merasa bahwa semua yang terjadi dalam waktu singkat ini hanyalah bagian dari mimpi indah yang tak ingin segera berakhir. Tapi ketika kemudian jari Jong Dae menggandeng tangannya dengan lembut, seketika itu pula Jae Na barulah percaya jika Jong Dae serta semua yang dilakukan laki-laki itu padanya sekarang adalah kenyataan, mutlak.
Kim Jong Dae adalah laki-laki yang selalu berhasil membuat detakan hati dan desiran darah Han Jae Na menjadi lebih cepat dari biasanya. Tidak, jangankan untuk hal semacam ini yang dilihat oleh banyak orang, hanya dengan melihat Jong Dae seperti kemarin saja Jae Na sudah menjadi salah tingkah. Jae Na sudah beberapa kali berkencan, tapi ia belum pernah merasakan hal semacam ini sebelumnya. Semua terasa tabu sejak pertama kali ia mengenal Jong Dae dua tahun lalu. Apa itu artinya ia menyukai Jong Dae?
Na yojeum sseomta sseomta sseomta
Ne mameul al deut mal deut waenji aemaehan
Neowa na sseomta sseomta sseomta
Ne mameul jul deut mal deut
Urin sseomta sseomta sseomta
(Aku punya hal kecil hari ini
Seperti aku tahu hatimu tapi sebenarnya tidak, membingungkan
Kau dan aku, kita memiliki hal kecil
Seperti kau memberi padaku hatimu tapi itu tidak mungkin
Kita memiliki hal kecil)
Jae Na tanpa sadar tersenyum. Bolehlah bila saat ini dia merasa Jong Dae bernyanyi bukan untuk semua orang, melainkan untuk dirinya seorang. Lihatlah tangan mereka yang saling menggandeng. Jangan lupakan kedua mata Jong Dae yang menatap hangat gadis di sebelahnya. Bernyanyi dengan ekspresi sungguh-sungguh seolah Jong Dae memang tengah mencurahkan isi hatinya.
Lagu yang dibawakan Jong Dae selesai. Mereka berdua saling tersenyum satu sama lain dengan diiringi petikan gitar yang masih mengalun. Dalam hitungan detik kemudian, senyum Jae Na tiba-tiba sirna sementara tubuhnya kembali membeku. Riuh yang bahkan berasal dari sudut-sudut kembali terdengar memenuhi aula. Lagu benar-benar usai. Senyum Jong Dae merekah begitu tirai perlahan mulai turun.
Jong Dae menarik Jae Na yang masih mematung lengkap dengan ekspresi terkejut. Gadis itu tak memberi respon apapun. Ia mengikuti saja kemana Jong Dae akan membawanya bahkan ke ujung dunia sekalipun. Mata Jae Na lekat tertuju pada tangan Jong Dae yang masih enggan melepasnya. Pipinya seketika memanas, mengingat bahwa tangan yang digandeng Jong Dae saat ini adalah tangan yang beberapa saat lalu bersentuhan dengan bibir Jong Dae yang lembut.
Jae Na mencoba melepaskan tangannya. Hal itu membuat Jong Dae berhenti berjalan untuk berbalik.
"Aku harus pergi," ucap Jae Na pelan tanpa berani menatap mata Jong Dae langsung.
Mendengar hal itu, Jong Dae justru mengeratkan genggaman. Berbisik kecil di depan Jae Na lalu menarik lagi gadis bermarga Han itu pergi.
Jong Dae menatap buket bunga mawar di tangan Jae Na. "Terima kasih sudah mau menerimanya."
"Apa kau salah makan pagi tadi? Ataukah kepalamu terbentur sesuatu sebelum datang ke kampus? Sebenarnya ada apa denganmu?" Jae Na sudah tak bisa lagi menahan diri untuk tak menguak jawaban dari berbagai pertanyaan yang terus membebaninya hari ini. Untuk pertama kalinya setelah insiden Jong Dae mencium tangan Jae Na, mata mereka akhirnya beradu. "Apa kau tahu atau hanya berpura-pura tidak tahu saja? Ini semua tidak lucu, Kim Jong Dae! Apa yang kau lakukan hari ini membuatku malu! Bagaimana bisa kau tak memperdulikan aku dan perasaanku?!"
"Lalu bagaimana dengan aku dan perasaanku?" cibir Jong Dae. "Rasa malumu, tidaklah seberapa bila dibandingkan dengan keresahan dan kebimbanganku selama ini."
Jae Na mendengus, sinis. "Rupanya kau memang sudah gila."
"Aku memang sudah gila. Tapi kurasa kau akan jauh lebih gila jika tak merasakan apapun diantara kita selama dua tahun terakhir ini." Jong Dae berjalan selangkah lebih dekat ke hadapan Jae Na. "Kau tahu? Setelah apa yang kau katakan padaku sore kemarin itu, aku sulit tertidur tadi malam. Aku terus memikirkannya dengan bayanganmu yang juga tak mau pergi. Jujur saja aku tertekan. Kau memberikanku kesulitan yang harus segera kupecahkan sebelum matahari terbit pagi ini. Sebenarnya aku tak seberani yang kau pikirkan. Bukan karena aku takut kau akan menolakku, hanya saja keraguan demi keraguan terus menghalangi keberanianku. Tapi untuk menjangkaumu, aku tahu aku tak boleh menjadi pecundang."
"Kau dan aku, diantara kita berdua siapa sebenarnya yang punya tingkat humor rendah?"
"Dua tahun waktu yang singkat, tapi aku bisa mengenalmu dengan cukup baik sejauh ini. Dan aku punya keyakinan bahwa apa yang kau katakan kemarin bukan sebuah lelucon melainkan sebuah keseriusan."
"Kurasa memang ada kesalahan pada kepalamu setelah terjaga sepanjang malam. Benar-benar lucu, Kim Jong Dae."
Jong Dae menghadang langkah Jae Na yang hendak pergi. Memegang tangan gadis itu untuk kesekian kalinya hari ini. "Berhentilah bersikap seperti ini! Kau selalu kabur dari apa yang tak kau suka. Tapi kali ini kau pergi bukan karena alasan itu. Kau menghindariku untuk menghentikan detakan jantungmu yang seperti akan meledak sekarang."
"Kalau kau tahu, maka biarkan aku pergi," bisik Jae Na.
"Tidak," tolak Jong Dae tegas. "Kita harus menyelesaikannya sekarang. Aku sudah tak bisa lagi mengelak segala gejolak perasaanku. Aku sudah tak bisa membodohi diriku sendiri lagi. Meski kita sering kali bertengkar dan berdebat sepanjang waktu, tapi hal-hal kecil semacam itu yang membuatku selalu merasa lebih dekat denganmu. Apapun jika itu bersamamu akan terasa nyaman. Tapi tiba-tiba semuanya menjadi menyakitkan saat aku sadar ada tembok pertemanan yang membentang diantara kita. Tidakkah kau merasakan hal yang sama juga?"
"Hatiku tidak sedingin itu. Aku juga merasakannya. Tapi karena aku adalah seorang perempuan dan perempuan tidak suka untuk maju lebih dulu, maka pilihannya adalah diam. Kupikir kau cukup pintar menangkap sinyal-sinyal yang kuberikan, ternyata kau lambat. Itu sebabnya aku kesal dan sebal setiap kali melihatmu. Kau laki-laki membingungkan yang sering menarik ulur hatiku."
Jong Dae tersenyum. Lega mulai merayapi hatinya. Sepertinya perjuangan Jong Dae tak tidur semalaman untuk memikirkan hal spesial yang diinginkan Jae Na sebentar lagi akan terbayar dengan kebahagiaan.
"Maaf," ucap Jong Dae sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Jadi bagaimana?"
Jae Na memukul dada Jong Dae menggunakan buket bunga mawar yang diberikan laki-laki itu dengan cukup keras. "Sebaiknya kau pulang sekarang dan cepat tidur agar kinerja kepalamu itu kembali baik!"
"Hei, Han Jae Na! Kau mau kemana? Bagaimana bisa kau meninggalkanku seperti ini?!" teriak Jong Dae gemas melihat Jae Na melenggang pergi begitu saja. Dia sudah mengumpulkan keberaniannya selama ini dan pembicaraan diantara mereka juga sudah cukup jauh, tapi tak ada kesimpulan apapun tentang kejelasan hubungan mereka berdua? Astaga!
Jae Na kini sudah berdiri di depan pintu yang menghubungkan aula dengan halaman belakang kampus tempat mereka berada saat ini. Ia berbalik perlahan. Dipandanginya Jong Dae yang tengah berdiri sekitar dua meter darinya.
"Kim Jong Dae," panggil Jae Na setengah berteriak. Laki-laki itu menoleh dengan tidak mengurangi ekspresi sebal di wajahnya.
"Lagumu tadi bagus. Suaramu juga indah. Bisakah kau bernyanyi lagi tapi hanya untukku seorang?" Jae Na tersenyum sementara Jong Dae tak merespon apapun. "Kurasa diantara kau dan aku, ayo menjadi kita! Hanya kita berdua! Pulanglah. Beristirahatlah dengan baik. Maaf sudah merepotkanmu tadi malam."
Jong Dae mematung dengan bunga mawar merah berada di tangan kirinya. Kening laki-laki berambut hitam itu berkerut. Begitu berhasil menangkap maksud ucapan Jae Na, gadis itu sudah berada di balik pintu dan tengah berjalan menuju kembali ke aula.
"Han Jae Na, tunggu aku!"
Sementara hati kedua insan itu berbunga-bunga, di luar sana bunga sakura mulai berguguran. Andai menunggu sedikit lagi, status hubungan mereka berdua yang baru saja berubah akan dimulai dengan disambut musim gugur yang baru saja akan dimulai.