Cast :
- Me as Shin Jae Kyung (you can to change the name with your korean name)
- Lee Sungmin ( Super Junior Sungmin)
This is my fiction story with my ultimate biased, Sungmin. Happy reading ^_^
Me POV
"Kenapa kemarin kau tak datang? Kau bahkan tak menjawab telepon atau membalas pesan singkatku. Kau tahu? Hampir seharian aku menunggumu disini kemarin."
Itulah segerombolan perkataan yang dilontarkan oleh Sungmin ketika aku baru saja tiba di sebuah taman tempat kami berjanji bertemu kemarin malam.
Sungmin memandang sebal ke arahku yang duduk di sebuah kursi di sisi kolam dan memandang lurus pada air yang memenuhi kolam berbentuk lingkaran tersebut tanpa bergeming sedikitpun untuk merespon ucapannya perkataanya tadi.
"Jae," panggilnya. Laki-laki itu kemudian ikut duduk di sebelahku. "Gwaenchana?"
"Jauhi aku!"
Sungmin tersenyum kecut. "Apa yang sedang kau bicarakan, eoh?"
"Bukan hal semacam ini yang kuharapkan," ucapku pelan tanpa berani menoleh ke arah Sungmin yang berada di sebelah kiriku.
"Pergi dan tak pernah bertemu lagi denganku seumur hidup? Itu, kan yang kau inginkan?"
"Jika kau tahu apa yang kuinginkan, kenapa kau masih mencariku?"
"Aku tak pernah mencarimu, karena aku tau jika takdir akhirnya akan selalu mempertemukan kita."
"Ck~. Percuma saja. Kita bertemupun, aku sudah tak memiliki perasaan lebih padamu seperti dulu." Aku berkata dengan nada dingin, yang dibalas Sungmin dengan tak kalah dingin.
"Pembohong."
"Kau tahu aku tidak pernah main-main dengan perkataanku."
Secara tiba-tiba Sungmin memegangi pergelangan tangan kiriku yang membuatku terkesiap. Tatapan tajamnya menghujam tepat ke dalam bola mata.
"Lalu apa maksudnya dengan ini, Shin Jae Kyung? Jika benar kau sudah tak mencintaiku lagi, kenapa kau masih memakainya? Apa kau lupa? Ini adalah cincin pertunangan kita, bukan?"
Aku terperanjat atas ucapan Sungmin. Apalagi dia dengan sengaja memberi penekanan pada setiap kalimat yang dilontarkannya. Lidahku seketika mengkelu, tak tahu harus mengatakan apa.
Mataku menatap kosong pada jari kiri tangan yang diangkat Sungmin. Dia ingin aku melihat apa yang ada disana. Sebuah benda berbentuk lingkaran yang menghiasi jari manis tangan kiriku. Benda yang tak pernah kulepaskan sejak pertama kali tersemat disana dua tahun lalu.
Pandanganku beralih ke arah Sungmin. Matanya menatap lekat ke arahku. Ada luka disana, di balik mata foxy-nya. Akupun tak bisa menutupi fakta, jika diriku juga merasakan luka yang sama dan aku yakin laki-laki itu tahu meski ditutupi dengan sedemikian rupa.
Aku harus segera sadar. Tak boleh terlalu lama hanyut dalam situasi semacam ini atau pertahanan yang kubangun dengan susah payah akan hancur hanya karena menatap mata laki-laki bermarga Lee ini.
"Kau meragukan ucapanku?" tanyaku sinis, memecahkan keheningan diantara kami.
"Kau payah dalam hal membohongiku." Suara Sungmin terdengar bergetar.
"Kalau begitu akan kubuktikan jika persepsimu terhadapku tentang hal itu adalah salah, Ming."
Kuhempaskan tangan Sungmin yang masih bertahan memegangi pergelangan tangan kiriku. Tanpa banyak bicara bahkan dengan sangat dingin, kulepaskan cincin yang terbuat dari titanium tersebut. Dan sekali lagi tanpa memikirkan apapun, kulemparkan benda itu. Aku yakin benda yang tak memiliki batas pada setiap sisinya itu telah berhasil menyentuh dasar kolam beberapa saat setelah aku melemparkannya.
Aku menoleh ke samping. Tampak Sungmin dengan ekspresi penuh ketidakpercayaan menatap lurus ke arah kolam yang tetap tenang. Tak terganggu dengan suasana dingin dan penuh ketegangan yang melingkupi kami. Dan kali ini giliran laki-laki itu yang diam membeku. Sungmin tak mengucapkan sepatah katapun meski hanya untuk sekedar mencaci jika aku adalah wanita bodoh, jika aku akan menyesali apa yang telah kuperbuat. Tapi aku tak peduli, tak ingin peduli. Aku hanya harus pergi, dari hidupnya.
Aku bangkit berdiri, membelakangi kolam. Sementara Sungmin masih belum mau bergeming. Kumasukan kedua tangan ke dalam saku sweater yang kukenakan, mencoba bersikap acuh selain karena udara malam berhembus sangat dingin. Sedingin suasana yang tak akan menjadi hangat diantara kami.
"Sekarang kau percaya? Kau sudah melihat dengan matamu sendiri tadi, bukan? Aku melepaskannya seperti aku yang akan melepaskanmu. Lebih baik kau pulang sekarang dan coba mulai menerima kenyataan jika aku tak menginginkan dirimu di sisiku lagi. Selamat malam."
Satu langkah, dua langkah. Perlahan aku mulai meninggalkan Sungmin. Terbesit di dalam hati berharap Sungmin akan menghentikan langkah kakiku yang terasa tak menginjak permukaan bumi. Dia akan memeluk tubuhku dari belakang seraya mengucapkan jika dia tak ingin aku pergi, dia tak bisa hidup tanpaku. Namun mustahil. Itu tak akan pernah terjadi karena perbuatanku sendiri.
"Dengan tersematnya cincin ini, maka mulai sekarang statusmu berubah dari yeojachingu menjadi calon istri Lee Sungmin."
Sekilas kenangan tentang cincin itu datang berkelebat pikiran. Masih lekat dalam ingatan kenangan indah dua tahun lalu saat Sungmin memberikan cincin titanium itu di balkon rumahku. Kala itu dia mengatakan dengan percaya dirinya sedang melamarku yang kemudian berbuah cibiran dariku. Tapi jujur saja, itu adalah momen yang membahagiakan sekaligus mengharukan. Aku tidak pernah menyangka Sungmin akan seserius ini dalam hubungan kami.
"Maukah kau berjanji padaku tentang satu hal? Bahwa apapun yang terjadi, kita akan selalu saling mencintai satu sama lain?"
Itupun masih dengan jelas teringat, memenuhi pikiranku. Semua kenangan bersamanya kini mulai berputar-putar dalam benakku. Membuatku sulit berpikir dan semakin berat untuk melangkahkan kaki. Dan tanpa sadar pandanganku mulai mengabur.
"Kenapa kau begitu memperhatikanku?"
"Karena kau adalah yeojachinguku."
"Kenapa kau mau menjadikanku sebagai yeojachingumu?"
"Karena aku mencintaimu."
"Kenapa kau bisa mencintaiku?"
"Aku tidak tahu. Tidak ada alasan untuk itu, Jae."
Aku menutup mulut dan berhenti berjalan. Mencoba menahan isakan yang memaksa keluar dan hendak berubah menjadi sebuah teriakan penuh luka. Hatiku perih, sangat. Dadaku teramat sesak hingga aku sulit untuk bernapas. Apa sesakit ini? Apa harus rasanya semenyakitkan ini meninggalkan seseorang yang sebenarnya tak ingin untuk kita tinggalkan?
Ya. Sungmin benar. Aku memang berbohong. Semua yang kukatakan adalah dusta. Tapi aku tak bisa melakukan hal lain selain ini. Situasi dan keadaan yang memaksaku menggores luka di hati laki-laki yang sangat kucintai itu.
Udara malam yang dingin merasuk ke dalam setiap rongga pernapasan. Sedikit menetralkan rasa sesak yang serasa mencekik. Sebutir air mata perlahan meluncur dari pelupuk mata yang dengan cepat kuhapus sebelum ada yang melihat. Meski aku yakin jika hanya ada aku saja disini di tengah malam seperti ini. Dan juga Sungmin, entah dia sudah pergi atau belum.
Aku mulai mengumpulkan tenaga kembali untuk segera pergi dari area taman ini. Namun baru satu kaki melangkah, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara seperti ada sesuatu yang jatuh ke dalam air kolam. Egoku mencoba untuk tak peduli. Tapi sesuatu dalam diri menahan kaki untuk melangkah lebih jauh. Malah meminta berbalik dan melihat apa yang sebenarnya terjadi disana.
Air kolam yang disinari oleh lampu-lampu di sekelilingnya tampak tenang. Ditambah suasana sekitar yang hening membuatku agak takut.
'Suara apa tadi,' tanyaku dalam hati pada diriku sendiri
Apa yang terjatuh ke dalam sana? Dari suara yang terdengar cukup keras, sepertinya itu benda berbobot.
Tidak ada?
Ketika kembali pada tempat tadi, aku tak menemukan sosok Sungmin lagi. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling mencoba mencari laki-laki itu. Nihil, tak ada tanda-tanda keberadaannya. Apa dia sudah pergi dari sini dengan melewati jalan lain?
Aku hendak pergi ketika mataku tanpa sengaja menangkap benda yang menarik perhatian di atas kursi kayu yang sempat kududuki bersama Sungmin tadi. Aku mendekat, meraih benda itu dengan hati-hati sekaligus berdebar. Sebuah mantel? Aku kenal benar wangi parfum yang menempel pada mantel coklat ini dan jika tak salah Sungmin menggunakan mantel coklat saat kami bertemu tadi. Aku memang tak banyak memperhatikan pakaian apa yang dikenakannya, tapi aku bisa memastikan dia mengenakan mantel ini kemari.
Aku dikejutkan oleh sebuah nada dering ponsel yang terdengar dari dalam salah satu saku mantel. Kurogoh saku sebelah kanan dan mendapatkan benda yang kucari. Nama 'Kyunnie' tertera di layar ponsel sebagai pemanggil telepon. Tapi aku tak kunjung menjawabnya karena tiba-tiba aku merasa tak enak hati. Hingga akhirnya panggilannya itu diakhiri tanpa ingin kujawab.
Keterkejutan belum hilang. Begitu panggilan di akhiri, wallpaper di ponsel muncul. Menampakan sebuah foto seorang wanita tengah berpose melakukan v-sign dengan tangan kanannya dan berlatar belakang sunset. Itu aku. Sungmin mengambil gambar itu saat kami berlibur ke pantai Gwanghwali hampir setahun yang lalu.
Kenapa benda-benda ini ada disini? Apa Sungmin meninggalkannya? Tidak mungkin. Terlalu bodoh untuk menanggalkan mantel di udara sedingin malam ini. Keanehan kembali muncul saat aku juga menemukan sepasang sepatu di bawah kaki kursi.
Perasaan kacau semakin menyelimuti hati mendapati barang-barang milik Sungmin. Dia pasti masih berada disini. Tapi untuk apa sampai meninggalkan barang-barangnya?
Aku teringat pada suara tadi. Kepalaku dengan cepat menoleh ke arah kolam. Mungkinkah Sungmin...?
Tiba-tiba beberapa gelembung kecil muncul di permukaan air kolam dan tertangkap indera penglihatanku. Aku mendekat ke sisi kolam. Gelembung itu masih muncul dan ketenangan air kolam terpecahkan karena tampak ada pergerakan-pergerakan kecil di dalam sana.
"Ming, apa itu kau?" teriakku gelisah. Tak ada jawaban.
"Ming, jika itu adalah kau, maka cepatlah naik ke atas," perintahku dengan volume meninggi. Masih tak ada jawaban. Apa di dalam sana memang bukan Sungmin? Tapi entah mengapa hati kecilku mengatakan jika itu adalah dia.
"Yak! Lee Sungmin! Jawab aku!"
Hening. Gelembung-gelembung tadi perlahan menghilang. Air pun kembali menjadi tenang. Namun justru kegelisahanku semakin menjadi.
Otakku mulai tak bisa bekerja dengan baik sekarang. Pikiranku benar-benar kalut dan aku tak tahu harus meminta bantuan siapa.
Yang kutahu, air kolam di taman ini permukaan dasarnya sengaja dibuat dalam dibanding kolam-kolam taman lain yang dibangun di Gwangju. Kedalamnya bisa mencapai 5-6 meter. Jika saja tak sedalam itu mungkin aku akan menyelam untuk memastikan apa Sungmin ada disana atau tidak. Tak peduli aku akan berubah menjadi bongkahan es ketika kembali ke permukaan.
"Sungmin-ah, jangan membuatku takut," lirihku disertai isakan. Entah sejak kapan air mata turun dengan bebas hingga membasahi kedua pipi. Mendapati barang-barang kepemilikan laki-laki itu disini, membuatku semakin takut. Memaksaku untuk mempercayai Sungmin berada di dalam sana dan aku tak bisa berbuat apapun selain menangis.
Tangisanku menjadi ketika pikiran menduga-duga alasan kenapa laki-laki itu melakukan hal ini ini. Mungkinkah dia mencoba mengakhiri hidup setelah aku memutuskan hubungan kami seperti ini? Mengingat itu saja membuatku semakin dihantui rasa bersalah, meskipun itu terdengar sangat konyol.
"Jawab aku!" Dan kini aku seperti orang gila. Berteriak-teriak sendiri, di sisi sebuah kolam sepi, di tengah malam.
"Jawab aku atau kupanggil polisi kemari sekarang juga, Lee Sungmin!"
Hening.
"Benar-benar lelucon bodoh. Ini sama sekali tidak lucu. Kau kira dengan cara seperti ini aku akan kembali padamu? Justru aku akan semakin membencimu!"
Hening.
"Keluar bodoh!"
Tetap hening.
Tak ingin cepat berputus asa, aku merogoh ponsel di dalam saku sweater. Astaga, aku baru ingat. Aku meninggalkannya di rumah karena sedang dicharger. Kesialan rupanya memang sedang ingin bermain-main saat ini. Ponsel Sungmin yang satu-satunya menjadi harapan untuk memintai bantuan siapapun juga mati karena kehabisan baterai.
Kakiku melemas dan aku sudah tak kuat lagi untuk berdiri. Aku duduk tak bertenaga sambil memeluk kedua lutut yang ditekuk. Kubenamkan kepalaku disana. Tangisanku kembali terdengar, bahkan lebih mengencang.
"Maafkan aku, Ming."
Aku mulai merutuki diri sendiri atas apa yang terjadi. Aku begitu menyesal sekarang atas perbuatanku pada Sungmin tadi. Sudah kukatakan bila aku tak pernah bermaksud untuk mengecewakannya. Aku juga tak ingin melakukan ini. Andai dunia berpihak padaku saat ini, yang kuinginkan hanyalah bersama laki-laki itu.
Samar-samar terdengar sebuah suara dari arah kolam. Aku menajamkan pendengaran dan suara itu semakin jelas terdengar. Suara orang terbatuk?
Dengan hati berdebar, perlahan ku angkat kepala. Tampak seseorang tengah berenang-renang dengan gerakan lemah dari tengah air kolam menuju ke sisi kolam terdekat. Beberapa kali orang itu berusaha naik ke pinggir kolam. Tapi karena keadaan tubuhnya tampak begitu lemah, dia selalu gagal. Tubuhnya menggigil dan tak hentinya terbatuk. Mungkin karena terlalu banyak air yang masuk ke dalam kerongkongannya.
"Ming-ah?"
Aku segera berlari ke arah Sungmin yang berada tak jauh dari tempatku sekarang. Kujulurkan kedua tangan guna membantunya naik, keluar dari permukaan air secepat yang kubisa sebelum tubuhnya yang basah total itu menjadi beku karena suhu air dan udara yang begitu sangat dingin.
Tubuh Sungmin tak bertenaga sama sekali ketika berhasil kuangkat ke permukaan. Nafasnya masih terdengar memburu dan mata foxy-nya sesekali terpejam. Sungmin menghirup udara dengan begitu rakus sementara aku membantu menepuk-nepuk pundak laki-laki itu agar batuknya segera berhenti dan air yang masuk ke dalam tubuhnya bisa keluar.
"Apa yang kau lakukan, Bodoh?" tanyaku dengan nada menghardik pada Sungmin yang tengah berbaring lemah dan meletakkan kepalanya di atas pahaku. Dia tersenyum lemah.
"Ini," lirihnya. Dia membuka telapak tangan kanan yang sedari tadi dikepalnya. Begitu terbuka, aku menatap Sungmin tak percaya.
"Kau?"
"Jangan menjatuhkannya sembarangan lagi. Apalagi jika aku tahu kau menghilangkannya, tamatlah riwayatmu. Dan aku tak bercanda."
"Apa kau sudah benar-benar bodoh, hah? Kau rela menyelam pada air yang bisa merubahmu menjadi bongkahan es untuk mencari benda ini? Apa yang kau pikirkan sebenarnya?" Aku tak kuasa menahan lebih lama lagi kekesalan atas kebodohan yang baru saja dilakukan laki-laki ini.
"Hey. Kau lupa, Shin Jae Kyung? Cincin ini kubeli di Amerika dan aku sendiri yang merancangnya. Kau juga tau jika harganya sangat mahal, bukan? Dan aku sudah mengatakan bahwa cincin titanium ini adalah cincin pertunangan kita. Jadi kau harus menjaganya baik-baik."
"Lee Sungmin! Tidakkah kau berpikir bahwa tindakan bodoh tadi membahayakan bahkan bisa merenggut nyawamu sendiri, hah?"
"Aku tak bisa berpikir sehat jika itu menyangkut tentang dirimu, Jae. Meski harus kehilangan nyawa sekalipun aku tak peduli, asalkan jangan kau yang meninggalkanku."
Nafasku kembali tercekat. Kerongkonganku terasa sangat sakit karena sudah terlalu lama menahan air mata yang siap meluncur. Menambah sembab mata yang sudah membesar sedari tadi.
"Dari dalam air, aku bisa mendengar suaramu yang sangat mencemaskanku. Kau takut kehilanganku, bukan?"
"..."
"Kau bahkan menangis untukku."
"Aku tidak menangis."
"Tidak usah mengelak," ucap Sungmin, tersenyum sembari mengusap linangan air mata yang tak bisa lagi ditahan. Jemarinya begitu dingin, tapi senyumnya terasa hangat.
"Ambillah," pinta Sungmin halus.
Aku menggeleng. "Aku tidak bisa."
Sungmin meraih tangan kiriku. Menaruh cincin berbahan titanium itu di telapak tangan lalu mengenggamnya.
"Selamanya adalah milikmu."
"Kenapa kau keras kepala sekali, Ming. Sudah kukatakan jika...."
"Antarkan aku ke dorm."
"Mwo-ya?"
"Aku kedinginan. Aku bisa jatuh sakit jika terlalu lama lagi disini."
"Kau bisa pulang sendiri."
"Kau tega melihatku menyetir dalam keadaan seperti ini? Jika terjadi sesuatu padaku, kau-lah orang pertama yang harus bertanggungjawab."
"Kau mengancamku?"
"Siapa?"
"Ck. Berani sekali kau berbuat semacam ini padaku disaat kita sudah tak memiliki hubungan apapun sekarang."
"Kunci mobilnya ada di saku mantel sebelah kiri."
"Kau!"
"Palli. Hatchim~…."
Dengan perasaan kesal bercampur khawatir serta tentu saja penuh rasa bersalah, aku akhirnya menuntun Sungmin yang berjalan tertatih. Sebenarnya aku sudah akan mengomelinya lagi karena memarkirkan mobilnya di luar area taman dan cukup menguras energi karena jaraknya lumayan jauh dari kolam ini.
"Gomawo," ucap Sungmin saat aku mendudukkan tubuhnya yang dibalut pakaian basah di kursi sebelah kemudi. Aku tak bergeming dan lebih fokus memakaikan sabuk pengaman untuknya. Sungmin sudah membuka mulut, hendak mengatalan sesuatu lagi. Namun dia mengurungkan niat karena aku segera berbalik, menghindari kontak mata dengannya dalam jarak dekat. Aku berjalan memutar dan masuk ke dalam mobil. Duduk di belakang kemudi dan melajukan mobil Civic putihnya menuju daerah Gangnam.
***************************************************